BUKAN TAKDIR TETAPI PILIHAN
“BUKAN TAKDIR TETAPI PILIHAN”
(Sebuah Refleksi Teologis dari Kejadian 4:1-16)

Dalam cerita Kain dan Habel
seringkali kita menemukan beberapa hal yang menonjol. yang sering kita
temukan adalah Perbedaan korban persembahan (ay. 3-4), dosa yang selalu
mengancam dihadapan manusia (ay.7), Darah yang selalu berseru dari dalam tanah
(ay. 11), dan tanda yang diberikan pada Kain (ay. 14). Menurut penelitian para
ahli hal yang menonjol itu berasal dari adat dan kegiatan keagamaan suku-suku
bangsa Babil. Namun dalam konteks cerita kita, hal-hal ini mempunyai makna yang
jelas bahwa inti dari cerita ini adalah
“sikap
manusia yang mementingkan diri sendiri sehingga menimbulkan pembunuhan.”
Namun yang
akan saya bahas adalah Tanda yang diberikan pada Kain (ay. 14).
Kitab Kejadian (Kej. 4:1-17)
memberikan gambaran singkat tentang kedua saudara ini. Dikatakan bahwa Kain
adalah seorang petani yang mengolah tanahnya, sementara adiknya Habel adalah seorang gembala.
Suatu hari mereka mempersembahkan korban kepada
Allah. Kain mempersembahkan
buah-buahan dan gandum dan
padi, sementara Habel mempersembahkan domba yang gemuk, anak domba, atau susu, dari
hasil pertama ternaknya. Allah menerima korban Habel, dan karena itu Kain
membunuh Habel, karena alasan yang juga tidak dijelaskan, sering kali dianggap
sebagai sekadar rasa iri karena Allah pilih kasih. Cerita ini berlanjut dengan
Allah yang mendekati Kain dan menanyakan dimana Habel berada. Jawaban Kain yang
kemudian menjadi ucapan yang sangat terkenal ialah, "Apakah aku penjaga adikku?" Allah
melihat bahwa Kain mencoba mengelak, karena-Nya Ia
mengatakan kepada Kain "Darah (Habel) adik mu itu berteriak kepada-Ku dari
tanah". Allah mengutuk Kain untuk mengembara di muka bumi. Kain ketakutan
bahwa ia akan dibunuh orang lain di muka bumi dan dalam rasa takutnya itu ia
memohon kepada Allah, dan karena itu Allah memberikan kepadanya tanda pada
wajah Kain sehingga ia tidak akan dibunuh, sambil berkata bahwa
"barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali
lipat." Lalu Kain pergi, "ke negeri pengembaraan".
Terjemahan-terjemahan lainnya menyebutkan bahwa ia pergi "ke Tanah Nod",
yang umumnya dianggap sebagai kekeliruan terjemahan dari kata Ibrani Nod, yang artinya pengembaraan. Meskipun ia dikutuk
untuk hidup mengembara, Kain belakangan disebutkan mempunyai keturunan, dan
mendirikan sebuah kota yang dinamainya Henokh,
sesuai dengan nama anaknya.
Dalam cerita ini pada ayat 11, Allah mengutuk
Kain untuk mengembara di muka bumi. Kelakuan Kain membunuh adiknya Habel menunjukan
bahwa tatanan dosa yang baru dengan akar yang dimulai oleh karena ketidaktaatan
dari Adam dan Hawa terhadap Allah. Kejadian 4:1-16 meminjam bentuk cerita dari
Kejadian 2-3 untuk melanjutkan cerita taman Eden dan kejatuhan manusia ke dalam
dosa serta menitikberatkan pada tema dan gagasan yang terkenal dari pasal-pasal
tersebut. Dalam adegan ini Allah segera muncul sebagai penyelidik. Hanya,
pertanyaan kepada orang yang bersalah itu bukanlah “Di manakah engkau?” seperti
pada saat di taman Eden, melainkan “Di manakah adikmu itu?”. Ini menunjukan
dosa tidak hanya bergerak semakin luas namun semakin terang-terangan dan keji.
“Penyelewengan
ini merupakan pengalaman yang mau tak mau dialami sesudah orang menjadi dewasa,
menjalani hidupnya sendiri dan harus bergumul dengan kejahatan manusia terhadap
sesamanya.[1]”
Oleh Karena itu saya menyimpulkan bahwa
pemberontakan terhadap Allah dan Penyelewengan dalam cerita ini adalah pilihan
manusia bukan takdir.
Kutukan yang Allah berikan kepada Kain bukan
takdir yang harus diterima oleh kain, namun ini merupakan pilihan yang diambil
oleh Kain sendiri. Penegasannya adalah pembunuhan yang Kain lakukan terhadap
adiknya. Jika Kain tidak melakukan pembunuhan tersebut maka ia pun tidak akan
mendapatkan kutukan dari Allah. Kutukan yang Allah berikan juga tidak melampaui
kemampuan Kain. Meskipun Kain di kutuk untuk hidup membara ke muka bumi namun
ada belas kasih yang Allah berikan kepadanya. Penyertaan dari Allah agar
membuat Kain tidak akan dibunuh.
Cerita ini sangat menarik jika kita mampu
merefleksikan dalam konteks kehidupan manusia zaman sekarang. Terkadang kita
dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa Kesusahan yang dialami merupakan takdir
dari Allah. Contoh sederhana yang saya temui adalah merosotnya ekonomi. Menurut
mereka hidup susah itu adalah takdir yang telah Allah tentukan bagi mereka. Jika
dalam kehidupan sehari-hari kita sering ada dalam kesusahan itu adalah pilihan
kita sendiri bukan takdir dari Allah. Sebab Allah memberikan manusia Hikmat
untuk berusaha agar tidak hidup dalam kesusahan. Setiap kesusahan yang di alami
manusia bukanlah takdir dari Allah namun pilihan dari manusia sendiri.
“Kesusahan adalah pilihan yang diambil
padahal manusia mampu untuk berusaha”
Oleh sebab itu, Hiduplah dalam aturan dan tuntunan
dari Allah, agar ketika diperhadapkan dengan setiap pilihan-pilihan manusia
mampu memilih yang baik. Sebab Hidup ini penuh dengan pilihan, jika salah
memilih akan berakibat fatal.
Terima Kasih
Terima Kasih juga kepada ROBERD NESI
yang telah berbagi pikiran dalam penulisan
[1] W. S. LaSor, D. A.
Hubbard, F. W. Bush, Pengantar Perjanjian
Lama 1 Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK GM 2019. Hal. 18-29.
Komentar
Posting Komentar