IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT: Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini
IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT
Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini
Dalam
kehidupan masa kini, tekanan pikiran sering kali menjadi ancaman terbesar bagi
kesehatan mental manusia. Mereka yang terbebani oleh banyak pikiran biasanya
menjalani hidup yang dipenuhi tantangan dan masalah. Tragisnya, orang yang
dilanda keputusasaan sering mengambil langkah ekstrem dengan mengakhiri hidup, dengan
berpikir bahwa hal itu adalah solusi untuk menghapus masalah. Namun, masalah
dan tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Meski begitu, bukan
berarti masalah harus mengendalikan hidup manusia. Sebaliknya, manusia
seharusnya mampu menguasai kehidupannya, termasuk mengelola beban pikiran yang
muncul akibat berbagai persoalan.
Ayub, seorang tokoh Alkitab yang kehidupannya diterpa dengan berbagai macam
tekanan dan masalah. Alkitab menceritakan Ayub mengalami penderitaan yang
melampaui batas kemampuannya. Kehilangan seluruh harta benda. Ayub, yang
dikenal sebagai orang kaya raya dan dihormati, kehilangan semua kekayaannya
dalam sekejap. Semua ternak dan pelayan-pelayannya dirampas atau dibunuh oleh
perampok dan bencana alam (Ayub 1:13-17), Kematian semua anak-anaknya dalam
satu hari. Tidak lama setelah kehilangan hartanya, Ayub juga kehilangan
anak-anaknya. Sebuah angin ribut menghancurkan rumah tempat anak-anaknya
berkumpul, dan mereka semua meninggal (1:18-19), Penyakit yang parah,
membuatnya menderita secara fisik dan mental. Ayub kemudian mengalami
penderitaan fisik yang luar biasa. Ia menderita penyakit kulit yang
menyakitkan, yang membuatnya duduk di atas abu sambil menggaruk tubuhnya dengan
beling (2:7-8). Tiga teman Ayub, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar, datang untuk
“menghiburnya”, tetapi mereka justru menyalahkannya atas penderitaannya. Mereka
beranggapan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosa-dosanya (4:2-5). Istri
Ayub juga kehilangan harapan dan menyuruh Ayub untuk “mengutuki Tuhan dan mati”
(Ayub 2:9). Namun, Ayub menegurnya dan tetap percaya pada kedaulatan Tuhan, dan
ia berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau
menerima yang buruk?” (2:10). Iman Ayub tetap teguh, meskipun ia didorong
untuk menyerah.
Kisah Ayub
adalah perjalanan hidup seorang orang muda yang diuji dengan penderitaan luar
biasa namun tetap mampu menunjukkan keteguhan iman dan kekuatan mental yang
menginspirasi. Namun, Ayub tetap teguh. Ia tidak menyangkal kesedihannya,
bahkan ia meratap dan mempertanyakan alasan di balik penderitaannya. Tetapi di balik semua itu, ia tetap berserah kepada Tuhan. Keteguhan iman
Ayub menjadi landasan mental yang kuat, membantu dirinya bertahan di tengah
tekanan yang melampaui batas kemampuan manusia. Meski penuh luka, ia tidak
membiarkan keputusasaan menguasai dirinya. Ayub menyadari bahwa ada hal-hal di
luar pemahaman manusia dan percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih
besar. Pada akhirnya, Tuhan memulihkan Ayub. Hidupnya dipulihkan dengan berkat
dua kali lipat dari sebelumnya, termasuk keluarga baru dan umur panjang yang
penuh kedamaian. Meskipun hidup dipenuhi oleh tantangan dan penderitaan,
keteguhan hati, dukungan yang tepat, dan iman kepada Tuhan adalah kunci untuk
menjaga kesehatan mental dan menemukan jalan menuju pemulihan.
Akhir-akhir ini, semakin jelas terlihat bahwa kesehatan mental anak muda
sering berada dalam kondisi yang tidak baik. Berbagai tekanan hidup—mulai dari
masalah ekonomi, pekerjaan, pendidikan, hingga hubungan sosial—menjadi beban
yang tidak ringan. Kurangnya dukungan sosial atau pengalaman
trauma menambah kompleksitas persoalan yang dihadapi. Kita mungkin tidak
benar-benar tahu seberapa berat pergumulan seseorang, tetapi satu hal pasti:
persoalan sehari-hari ini membawa dampak besar, khususnya bagi anak muda di zaman
sekarang.
Akhir-akhir ini, muncul tren di Kota Kupang dengan frasa “Laki-laki
Tidak Bercerita.” Kalimat ini sekilas terdengar biasa, tetapi
menyimpan pesan yang mencerminkan realitas sosial: laki-laki sering kali enggan
mengekspresikan emosi atau membagikan masalahnya. Sayangnya, sikap ini justru
menciptakan tekanan psikologis yang besar. Anggapan bahwa bercerita adalah
tanda kelemahan sebenarnya keliru. Sebaliknya, keberanian untuk berbicara
adalah bentuk kekuatan dalam menghadapi kehidupan. Masalah hidup akan selalu
ada, tetapi bagaimana kita mengelola dan meresponsnya menjadi kunci untuk
menemukan jalan keluar. Seperti yang diajarkan melalui kisah Ayub, seorang
laki-laki yang menghadapi berbagai pencobaan berat. Keteguhannya dalam iman kepada
Allah menjadi landasan kekuatan mentalnya.
Kisah hidup Ayub memberikan pelajaran berharga bahwa penderitaan dan
masalah bukanlah sesuatu yang harus disangkal atau dihindari, melainkan
dihadapi dengan keyakinan bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih besar di
balik semua peristiwa. Kita juga dapat memahami pentingnya berbagi cerita, baik
tentang keberhasilan maupun kegagalan. Bercerita bukan hanya sarana untuk
meluapkan emosi, tetapi juga cara untuk meringankan beban mental. Bercerita itu
adalah salah satu cara untuk kita mengekspresikan emosi diri. Meski tanggapan
yang diterima mungkin sederhana, namun proses berbagi itu sendiri adalah
langkah awal menuju pemulihan.
Sebagai refleksi, kita perlu menyadari bahwa berbicara dan berbagi bukanlah
tanda kelemahan, melainkan upaya untuk meraih pertumbuhan dan kesembuhan.
Mengakui emosi seperti kesedihan, frustrasi, atau keputusasaan adalah langkah
penting dalam menjaga kesehatan mental. Sebaliknya, memendam emosi hanya akan
memperberat beban psikologis. Oleh karena itu, dukungan sosial yang empati dan
tidak menghakimi memiliki peran besar dalam membantu kita untuk menghadapi
situasi sulit. Kehadiran teman atau keluarga yang peduli dapat menjadi kekuatan
yang mendukung. Selain itu, menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar
kendali kita dan berserah kepada Tuhan dapat membawa ketenangan dan mengurangi
kecemasan. Keyakinan iman kepada Tuhan, mampu memberikan harapan dan kekuatan
untuk bertahan, bahkan di tengah tekanan yang berat. Kisah Ayub mengingatkan
kita bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan dan penderitaan, keteguhan
hati, iman, dan pengharapan adalah kunci untuk bangkit kembali. Lebih dari itu,
pengalaman ini dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan menjadi
berkat bagi orang lain di sekitar kita.
Yakinlah bahwa; masalah hidup yang dihadapi tidak lebih besar dari kuasa Tuhan yang menyelamatkan kehidupan kita. Kalau kita punya iman yang teguh kepada Allah, maka segala persoalan pasti akan dilalui dengan baik. Pertanyaan refleksi untuk kita semua; “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”
Komentar
Posting Komentar