PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN: Tafsir Sosio-Naratif Roma 13:1-7 dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

 
 Marsel C. S. Laisbuke., S.Th || marsellaisbuke@gmail.com

 

 PENDAHULUAN

Di tengah dinamika kehidupan bangsa yang semakin kompleks, hubungan antara iman dan kekuasaan politik menjadi isu yang terus relevan untuk dibicarakan. Dunia kita hari ini diwarnai dengan berbagai tantangan: ketidakadilan hukum, polarisasi politik, penyalahgunaan wewenang, hingga krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi warga negara yang taat hukum, berpartisipasi aktif, dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa.

Bulan kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan kembali hakikat kemerdekaan dan peran setiap warga negara di dalamnya. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup bukan hanya di bawah tatanan negara yang memiliki struktur hukum dan pemerintahan, tetapi juga di dalam tatanan yang lebih tinggi, yaitu tatanan Kerajaan Allah. Dalam tatanan inilah kita belajar bahwa pemerintah hanyalah pelayan Allah untuk menghadirkan kebaikan, menegakkan keadilan, dan menjaga ketertiban demi kesejahteraan bersama.

Roma 13:1–7 menjadi teks yang strategis untuk membimbing kita memahami keseimbangan antara ketaatan kepada pemerintah dan kesetiaan kepada Allah. Ketaatan yang dimaksud bukanlah kepatuhan tanpa kritik, melainkan ketaatan yang dilandasi kasih, kesadaran iman, dan keberanian untuk bersuara ketika pemerintah menyimpang dari mandatnya. Dengan perspektif ini, gereja dan pemerintah dapat berjalan beriringan sebagai pelopor dalam menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah bangsa, nilai yang memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi semua orang.

 

LATAR BELAKANG TEKS ROMA 13

Jemaat di Roma pada abad pertama merupakan komunitas campuran antara orang Yahudi dan non-Yahudi, yang beribadah di rumah-rumah pribadi seperti rumah Aquila dan Priskila.[1] Jemaat di Roma tidak dibentuk oleh Paulus, melainkan oleh para pengikut Yesus yang kemungkinan besar datang dari Yerusalem setelah peristiwa Pentakosta (Kis. 2:10). Komposisinya campuran antara Yahudi dan non-Yahudi (Gentiles). Mereka bersekutu dalam pertemuan-pertemuan rumah (house churches), seperti di rumah Aquila dan Priskila (Rm. 16:3–5). Struktur ini bukan hanya karena jumlah mereka yang kecil, tetapi juga untuk menghindari perhatian berlebihan dari pihak berwenang dan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kota besar yang padat.

Keberadaan jemaat ini tidak lepas dari dinamika sosial-politik kota Roma, terutama setelah dekrit pengusiran orang Yahudi oleh Kaisar Klaudius sekitar tahun 49 M. Kaisar Klaudius mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pengusiran orang Yahudi dari Roma. Menurut catatan Suetonius (Claudius, 25.4), pengusiran ini terjadi karena konflik internal komunitas Yahudi “atas dorongan seorang yang bernama Chrestus” yang kemungkinan adalah salah tafsir terhadap nama Kristus. Ini berarti sebagian yang diusir adalah orang Yahudi Kristen. Dampak dekrit ini terasa selama beberapa tahun.

Setelah Klaudius wafat (54 M) dan Nero naik tahta, larangan itu mereda, sehingga orang-orang Yahudi kembali ke Roma, termasuk Aquila dan Priskila. Banyak dari mereka yang terusir, termasuk Kristen berlatar belakang Yahudi baru kembali ke Roma setelah kematian Klaudius, sehingga memunculkan tantangan integrasi antara anggota jemaat yang lama tinggal di kota dan mereka yang baru kembali dari pengasingan.[2]

Hidup sebagai minoritas di pusat kekaisaran, mereka menghadapi kecurigaan publik, kewajiban pajak yang memberatkan, dan ketegangan identitas, terlebih di tengah memori segar akan pengusiran sebelumnya. Kembalinya orang Yahudi Kristen ke Roma menimbulkan gesekan. Jemaat yang selama pengasingan didominasi non-Yahudi kini harus menyesuaikan diri dengan anggota Yahudi yang memiliki tradisi hukum Taurat yang kuat. Selain itu, mereka hidup sebagai minoritas yang sering dicurigai pemerintah dan warga Roma.

Dalam konteks ini, kewajiban membayar pajak menjadi isu sensitif. Bagi sebagian Yahudi dan Kristen berlatar Yahudi, membayar pajak kepada pemerintah kafir dianggap sebagai kompromi rohani. Situasi ini diperparah oleh tingginya beban pajak di bawah pemerintahan Romawi, sehingga ketegangan identitas dan loyalitas politik semakin tajam.[3]

Surat Roma ditulis Paulus sekitar tahun 56–58 M, pada awal pemerintahan Kaisar Nero.[4] Pada masa ini, Nero sedang berupaya memperkuat citra positif pemerintahannya dan menenangkan gejolak politik. Salah satu isu sensitif yang mencuat adalah perpajakan: rakyat memberontak terhadap beban pajak, sehingga pada tahun 58 M dilakukan reformasi pajak oleh senat. Di Roma, pajak dibagi menjadi dua kategori utama: φόρος (phoros) yaitu pajak tanah dan kepala yang dikenakan pada provinsi-provinsi, dan τέλος (telos) yaitu pajak atas penghasilan, barang, dan jasa. Banyak rakyat menilai beban pajak terlalu berat. Tahun 58 M, terjadi protes yang mendorong senat melakukan reformasi pajak. Reformasi ini memang sedikit mengurangi beban, tapi tidak menghapus ketidakpuasan masyarakat.[5]

Sistem perpajakan Romawi meliputi φόρος (pajak provinsi atas orang dan tanah) serta τέλος (pajak atas penghasilan, barang, dan jasa).[6] Dalam sejarah Yahudi abad pertama, ada kelompok nasionalis bernama Zealot yang menolak kedaulatan Roma, menolak membayar pajak, dan berpegang bahwa “Allah saja adalah Raja.” Meskipun tidak semua orang Yahudi sependapat, pengaruh gagasan ini bisa menyusup ke jemaat Kristen berlatar Yahudi. Jika jemaat terlibat dalam sikap anti-pajak atau menentang otoritas Romawi secara terbuka, itu akan memicu masalah serius dengan pemerintah. Bagi sebagian orang Yahudi dan Kristen berlatar belakang Yahudi, pajak kepada pemerintah kafir menjadi isu teologis sekaligus politik, terutama di tengah pengaruh gagasan kelompok Zealot yang menolak kedaulatan Roma.[7]

Dalam Roma 13, Paulus menegaskan bahwa semua pihak harus takluk kepada pemerintah, karena pemerintah adalah hamba Allah untuk menegakkan keadilan dan menghukum yang jahat.[8] Tujuannya kemungkinan besar adalah untuk mencegah jemaat terseret ke dalam gerakan pemberontakan atau sikap anti-Roma yang bisa memicu konflik dengan pemerintah maupun perpecahan internal gereja.[9] Dengan demikian, perintah untuk tunduk kepada pemerintah bukanlah persetujuan terhadap segala kebijakan negara, melainkan ajakan untuk hidup tertib, menjaga kesaksian iman, dan mengakui bahwa otoritas tertinggi tetap berada di tangan Allah.[10]

Paulus menulis bagian ini bukan sekadar untuk memberikan nasihat umum tentang taat kepada pemerintah, tetapi untuk menjawab kebutuhan pastoral dan strategis jemaat di Roma. Situasi sosial-politik saat itu rawan: jemaat adalah kelompok minoritas yang baru saja mengalami pengusiran (49 M) dan sedang berusaha membangun kembali kehidupan mereka di tengah masyarakat yang curiga. Di sisi lain, isu pajak dan otoritas pemerintah menjadi titik panas yang mudah memicu konflik.

Pesan ini juga berfungsi sebagai penyeimbang: jemaat tidak boleh menjadi provokator politik yang mengundang tindakan represif Roma, tetapi juga tidak boleh memberi ketaatan mutlak kepada negara. Prinsipnya adalah ketaatan relatif kepada pemerintah dengan ketaatan mutlak kepada Allah. Jadi, Roma 13 bukanlah legitimasi bagi kekuasaan absolut, melainkan seruan untuk menjaga ketertiban dan integritas iman di tengah dunia yang dikuasai kekaisaran.

 

PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN: Tafsir Sosio-Naratif Roma 13:1–7 dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Roma 13 merupakan bagian dari surat Paulus yang membahas hubungan orang percaya dengan pemerintah dalam kerangka besar kehidupan baru di dalam Kristus. Secara sosio-naratif, teks ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial-politik Kekaisaran Romawi abad pertama. Jemaat di Roma hidup di tengah struktur kekuasaan yang sangat terpusat, dengan Kaisar sebagai figur tertinggi yang dipandang memiliki otoritas mutlak. Pemerintah Romawi mempertahankan ketertiban melalui hukum, pajak, dan aparat militer, serta menuntut loyalitas warga negara. Dalam konteks ini, Paulus menekankan bahwa “pemerintah adalah hamba Allah” untuk mengatur dan menghukum pelanggar hukum, serta memberi penghargaan kepada yang berbuat baik.[11]

Pernyataan Paulus bukan sekadar ajaran moral terisolasi, melainkan bagian dari narasi yang dimulai sejak Roma 12, di mana Paulus mengajarkan hidup dalam kasih, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian, ketaatan kepada pemerintah dipahami sebagai wujud praktis dari kasih yang aktif dan damai, bukan sebagai bentuk penghambaan buta terhadap kekuasaan. Paulus mengajak jemaat untuk menjadi warga yang taat hukum, membayar pajak, dan menghormati penguasa, sambil tetap sadar bahwa kesetiaan utama mereka adalah kepada Allah. Hal ini sekaligus menjadi strategi pastoral untuk melindungi jemaat dari tuduhan subversif dan menjaga kesaksian mereka di tengah masyarakat yang diawasi ketat oleh negara.[12]

Roma 12, Paulus mengubah fokus dari doktrin ke etika praktis. Ia memanggil jemaat untuk mempersembahkan tubuh sebagai “persembahan yang hidup” (Rm. 12:1) dan menekankan kasih yang tulus, kerendahan hati, dan perdamaian dengan semua orang (Rm. 12:9–21). Prinsip “jika mungkin, sejauh tergantung padamu, hiduplah dalam damai dengan semua orang” (Rm. 12:18) menjadi jembatan menuju Roma 13:1–7.[13]

Dalam Roma 13, prinsip itu diaplikasikan ke dalam konteks sosial-politik: bagaimana jemaat hidup tertib dan taat terhadap pemerintah sebagai bagian dari panggilan mereka untuk memelihara damai. Bagi Paulus, otoritas negara memiliki fungsi yang diizinkan Allah untuk menegakkan ketertiban dan menghukum kejahatan, dan sikap hormat kepada pemerintah merupakan wujud nyata dari kasih dan ketaatan kepada Allah.[14]

Paulus menggunakan gaya retorika yang sengaja menggabungkan bahasa politik Romawi dengan perspektif teologis Yahudi-Kristen. Saat ia mengatakan, “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (ay. 1), Paulus berbicara dengan bahasa yang akrab bagi warga Kekaisaran Romawi, di mana ketertiban (ordo) dianggap sebagai pilar utama stabilitas sosial dan politik. Bagi orang Roma, menjaga keteraturan berarti menjaga kehormatan negara dan Kaisar.[15]

Namun, Paulus tidak berhenti di sana. Ia menempatkan pemerintah sebagai “pelayan Allah” (διάκονος θεοῦ), sebuah istilah yang secara sengaja menggeser sumber legitimasi kekuasaan dari Kaisar ke Allah. Dengan demikian, meskipun secara lahiriah tampak mendukung struktur politik Romawi, Paulus secara implisit menolak konsep kekuasaan absolut Kaisar. Kekuasaan, menurut Paulus, hanya sah jika dijalankan sesuai mandat Allah. Artinya, Roma tidak berdaulat mutlak, mereka tunduk pada kehendak Allah dan dapat dimintai pertanggungjawaban moral.[16]

Paulus menyampaikan pesan yang relevan dengan konteks sosial-politik jemaat di Roma: hidup di bawah kekuasaan imperial, tetapi dengan kesadaran bahwa loyalitas tertinggi tetap pada Allah, bukan negara. Jadi, teks ini bukan sekadar perintah patuh, melainkan juga pengingat akan batas kekuasaan negara dan supremasi Allah di atas segalanya. Roma 13 tidak sekadar bicara “patuh kepada negara”, tetapi juga mengajarkan pembatasan moral terhadap negara dan menegaskan bahwa Allah-lah otoritas tertinggi.[17]

Allah Berdaulat atas Pemerintah (ay. 1–2) Teks asli Roma 13:1 berbunyi:
“Tidak ada exousia (otoritas/kekuasaan) yang tidak berasal dari Allah; dan yang ada telah ditetapkan (tetagmenai) oleh Allah.” Kata
ἐξουσία (exousia) berarti “otoritas” atau “hak untuk memerintah,” bukan sekadar orang yang berkuasa. Paulus sedang bicara tentang prinsip otoritas sebagai suatu tatanan yang berasal dari Allah. Kata kerja τεταγμέναι (tetagmenai, perf. pass. part.) berarti “telah ditata/ditempatkan” secara permanen oleh Allah. Ini menegaskan kedaulatan Allah atas sistem kekuasaan. Jadi, ketaatan kepada pemerintah adalah bagian dari ketaatan kepada Allah, selama pemerintah menjalankan mandat ilahi yang menegakkan kebaikan dan keadilan, bukan bertindak sewenang-wenang.[18]

Pemerintah sebagai Hamba Allah untuk Kebaikan (ay. 3–4). Roma 13:4 mengatakan: “Karena ia adalah diakonos (pelayan) Allah bagimu eis to agathon (untuk kebaikanmu).” Kata διάκονός (diakonos) adalah kata yang dipakai Paulus untuk “pelayan” dalam gereja (misalnya diakonos dalam pelayanan jemaat), di sini dipakai untuk pemerintah. Artinya, pemerintah punya tugas pelayanan publik di bawah mandat Allah. Ungkapan εἰς τὸ ἀγαθόν berarti “demi kebaikan,” yang dalam konteks teologi Paulus merujuk pada kebaikan moral dan kesejahteraan sosial yang selaras dengan kehendak Allah. Ini berarti pemerintah idealnya menjadi instrumen Allah dalam menegakkan hukum dan melindungi warganya, bukan menjadi alat penindasan.[19]

Masih dalam ayat 4, Paulus menambahkan: “Ia adalah eksekutor (pembalas) murka Allah terhadap yang berbuat jahat.” Kata ἔκδικος (ekdikos) berarti “pelaksana penghukuman” atau “penegak keadilan.” Pemerintah memiliki hak untuk menghukum yang salah sebagai bagian dari mandat menjaga ketertiban.[20]

Ketaatan sebagai Tindakan Iman (ay. 5–7). “Kamu perlu hypotassesthai (tunduk) bukan hanya karena (takut) murka, tetapi juga karena syneidēsis (hati nurani).” Kata ὑποτάσσεσθαι (hypotassesthai) berarti “menempatkan diri di bawah,” dan di sini bentuknya middle/passive yang menandakan tindakan sukarela. Ketaatan yang Paulus maksud bukan sekadar takut dihukum, tetapi lahir dari συνείδησις (syneidēsis), yaitu kesadaran batin yang dipimpin oleh iman dan takut akan Allah.[21]

Ayat 6–7 kemudian memerintahkan membayar pajak: φόρους τελεῖτε “bayarlah phorous (pajak tanah/kepala),” τέλος τῷ τὸ τέλος “bayarlah telos (bea/jasa),” Kedua kata ini membedakan jenis pajak di zaman Roma, dan Paulus menekankan bahwa membayar pajak serta memberi hormat adalah bagian dari tanggung jawab iman, bukan sekadar kewajiban administratif.[22]

Paulus sedang berbicara kepada jemaat di Roma yang hidup di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi dengan segala ketegangan sosial, politik, dan religiusnya. Istilah yang Paulus gunakan, diakonos dan leitourgos, lazimnya dipakai untuk pelayan gereja atau pelayan publik, namun di sini diarahkan kepada pemerintah. Ini menandakan bahwa pemerintah, dalam perspektif Paulus, bukan entitas otonom, tetapi instrumen Allah dalam menjalankan misi-Nya menjaga ketertiban dan melindungi kehidupan manusia.[23]

Kasih, kerendahan hati, dan pembalasan yang hanya milik Allah. Dengan begitu, penekanan Paulus bukan pada legitimasi absolut pemerintah, tetapi pada fungsinya yang terbatas: menegakkan keadilan, menghukum yang jahat, dan memberi penghargaan kepada yang baik. Fungsi ini adalah “untuk kebaikan” (eis to agathon) yaitu kesejahteraan dan keteraturan sosial, selama pemerintah melaksanakan mandatnya sesuai kehendak Allah. Jika pemerintah menyalahgunakan kuasa dan menyimpang dari fungsi itu, narasi besar Alkitab menunjukkan bahwa umat Allah tetap tunduk kepada Allah sebagai otoritas tertinggi.[24]

Jadi, pesan Paulus kepada jemaat adalah bukan sekadar “taati pemerintah” tetapi “lihat pemerintah dalam perspektif misi Allah” mengakui peran positif pemerintah sebagai pelayan Allah, sambil menempatkannya dalam kerangka misi Allah yang lebih besar: memelihara ciptaan, menegakkan keadilan, dan melindungi kehidupan. Ketaatan kepada pemerintah menjadi bagian dari kesaksian iman, bukan sekadar kewajiban politik.[25]

1.    Tanggung jawab pemerintah.

Dalam bingkai Paulus, pemerintah hanyalah “hamba Allah” (diakonos theou), artinya kuasa bukan milik mutlak mereka. Kuasa itu bersifat delegatif, diberikan oleh Allah untuk tujuan eis to agathon (untuk kebaikan). Ini berarti pemerintah dipanggil untuk menjalankan otoritasnya dengan integritas, menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, melindungi semua warga negara, dan menciptakan ketertiban yang mendukung kesejahteraan umum. Roma 13:11-7 mengingatkan bahwa penyalahgunaan kuasa, korupsi, atau kebijakan yang menindas, bukan saja bertentangan dengan etika publik, tetapi juga melawan mandat Allah.

2.    Sikap warga negara.

Bagi masyarakat, termasuk orang percaya (gereja), teks ini mendorong sikap taat hukum dan memberi hormat kepada otoritas yang sah sebagai wujud partisipasi dalam membangun bangsa. Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan mutlak, melainkan ketaatan yang tunduk pada kesetiaan tertinggi kepada Allah. Artinya, ketika pemerintah bertindak sesuai mandat Allah, dukungan warga menjadi bagian dari menjaga keberlangsungan bangsa; sebaliknya, jika kebijakan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kasih, masyarakat berhak menyuarakan kritik konstruktif.

3.    Relevansi bagi keberlangsungan bangsa Indonesia.

Dalam keragaman etnis, agama, dan budaya Indonesia, penerapan Roma 13 mendorong terciptanya relasi sehat antara pemerintah dan rakyat, pemerintah mengabdi untuk kebaikan bersama, rakyat menghormati dan mendukung otoritas yang adil. Hubungan timbal balik ini memperkuat stabilitas nasional, meminimalkan konflik, dan menjaga persatuan. Prinsip ini juga membentuk budaya politik yang sehat, di mana kekuasaan tidak disakralkan, dan kritik bukan dianggap ancaman, melainkan mekanisme koreksi demi kebaikan bangsa.

REFLEKSI TEOLOGIS: Ketaatan, Kritik, dan Panggilan Profetis dalam Roma 13:1-7

Teks Roma 13:1-7 menegaskan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” yang dihadirkan untuk memelihara kebaikan, menegakkan keadilan, dan menghukum yang jahat. Dalam bingkai refleksi teologis, teks ini mengingatkan gereja di Indonesia bahwa keberadaan negara dan pemerintah adalah bagian dari tatanan Allah untuk menjaga keteraturan hidup bersama. Namun, panggilan “tunduk kepada pemerintah” bukanlah ketaatan membabi buta, melainkan sikap yang lahir dari kesadaran iman bahwa otoritas sejati berasal dari Allah. Ketaatan itu selalu disertai keberanian profetis untuk bersuara ketika pemerintah menyimpang dari mandatnya.

Dalam konteks hukum dan politik Indonesia, suara gereja seharusnya bukan hanya suara yang mengamini kebijakan negara, melainkan juga suara kenabian yang menyuarakan kebenaran, memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas, dan mengingatkan pejabat publik akan tanggung jawab moral mereka. Ketika hukum diperalat demi kepentingan kelompok tertentu, gereja terpanggil untuk berdiri di pihak yang lemah dan menjadi pengingat bahwa hukum seharusnya melindungi seluruh rakyat, bukan menindas.

Demikian juga, di tengah polarisasi politik dan praktik kekuasaan yang terkadang berorientasi pada keuntungan pribadi atau kelompok, gereja perlu menjadi teladan integritas, mengajarkan umat untuk terlibat dalam politik secara bersih, kritis, dan konstruktif. Dengan demikian, ketaatan pada pemerintah dalam terang Roma 13 bukan berarti menyerah pada ketidakadilan, melainkan menghidupi panggilan iman untuk menjadi warga negara yang aktif membangun bangsa, melawan kejahatan, dan menegakkan kebaikan sebagaimana yang dikehendaki Allah.

Dalam perayaan bulan kemerdekaan GMIT, kita semua hidup bukan hanya di dalam tatanan negara yang punya struktur, hukum, dan aturan, tapi juga di dalam satu tatanan yang lebih tinggi, tatanan sebagai warga Kerajaan Allah. Allah sendiri yang menata kehidupan supaya manusia bisa hidup rukun, adil, dan saling menjaga. Teks Roma 13:1-7 mengingatkan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” untuk kebaikan rakyat, bukan untuk menindas. Sebaliknya, jemaat pun dipanggil untuk taat, bukan karena takut hukuman, tapi karena sadar bahwa ketaatan itu bagian dari kesetiaan kepada Allah.

Pemerintah dan gereja menjadi pelopor untuk menghadirkan konsep Kerajaan Allah di dunia. Artinya, segala bentuk kebijakan, hukum, dan politik harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian, bukan hanya demi kepentingan kelompok tertentu. Sebagai warga Kerajaan Allah, kita harus pegang prinsip bahwa tidak ada tatanan atau peraturan manusia yang boleh berdiri lebih mutlak daripada kehendak Allah.

Di bawah kedaulatan Allah, kita boleh saling mengisi, saling mengingatkan, dan bahkan bersuara keras kalau ada ketidakadilan, tapi jangan sampai saling menyakiti atau merusak kesatuan. Hidup sebagai warga Kerajaan Allah berarti hidup dalam kebenaran, menolak dominasi yang menindas, dan mempraktikkan kasih yang melindungi semua orang. Dengan begitu, kemerdekaan yang kita rayakan bukan hanya simbol nasional, tapi juga tanda bahwa kita sedang menghidupi tatanan surgawi di bumi ini.

 

PENUTUP

Pemerintah adalah hamba Allah yang menerima mandat untuk menghadirkan kebaikan, menegakkan keadilan, dan melindungi warganya. Ketaatan kepada pemerintah bukanlah ketaatan tanpa batas, tetapi tunduk dalam kerangka ketaatan yang lebih tinggi kepada Allah. Dalam konteks Indonesia, relasi antara pemerintah dan gereja seharusnya menjadi kolaborasi yang sehat: pemerintah menjalankan kuasa dengan integritas, sedangkan gereja hadir sebagai mitra kritis dan profetis yang mengingatkan, mengoreksi, dan mengarahkan kebijakan ke arah yang sesuai dengan kehendak Allah.

Sebagai warga Kerajaan Allah, kita terpanggil untuk menjadi warga negara yang membangun bangsa dengan nilai kasih, keadilan, dan kebenaran. Tidak ada hukum manusia yang boleh melampaui hukum Allah. Di bawah kedaulatan-Nya, pemerintah dan gereja dapat berjalan bersama sebagai pelopor mewujudkan cita-cita Kerajaan Allah di bumi, tatanan hidup yang adil, damai, dan penuh kasih. Sehingga kemerdekaan yang kita rayakan bukan sekadar simbol, tetapi wujud nyata kehidupan yang memuliakan Allah dan memberkati bangsa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Barth, Karl. The Epistle to the Romans. Translated by Edwyn C. Hoskyns. Oxford: Oxford University Press, 1933.

Burton, Ernest De Witt. A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans. Edinburgh: T&T Clark, 1920.

Calvin, John. Commentaries on the Epistle of Paul the Apostle to the Romans. Translated by John Owen. Grand Rapids: Baker Book House, 1980.

Cranfield, C. E. B. A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans. International Critical Commentary, vol. 1. Edinburgh: T&T Clark, 1975.

Direction Journal. “Submission to Governing Authorities.” Direction 23, no. 2 (1994): 24–25.

Dunn, James D. G. Romans 1–8. Word Biblical Commentary 38A. Dallas: Word Books, 1988.

———. Romans 9–16. Word Biblical Commentary 38B. Dallas: Word Books, 1988.

Jewett, Robert. Romans: A Commentary. Hermeneia. Minneapolis: Fortress Press, 2007.

Haacker, Klaus. “The Use of ‘Diakonos’ in Paul’s Letters.” Journal of Biblical Literature 99, no. 4 (1980): 571–584.

Hays, Richard B. Echoes of Scripture in the Letters of Paul. New Haven: Yale University Press, 1989.

Longenecker, Bruce W. The Glory of God in the Face of Jesus Christ: Romans 1–8. Grand Rapids: Eerdmans, 2001.

Martyn, J. Louis. History and Theology in the Fourth Gospel. Nashville: Abingdon Press, 1979.

Meeks, Wayne A. The First Urban Christians: The Social World of the Apostle Paul. New Haven: Yale University Press, 1983.

Moo, Douglas J. The Epistle to the Romans. New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.

Morris, Leon. The Epistle to the Romans. Pillar New Testament Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 1988.

Neufeld, M. “The Historical Context of Romans 13:1–7.” In A Text Without a Context Is a Pretext, 69.

Paulus. Surat kepada Jemaat di Roma, Roma 13 dalam Alkitab Perjanjian Baru, edisi revisi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1974.

Rowe, C. Kavin. Early Christian Rhetoric and the Origins of the Sermon. New Haven: Yale University Press, 2006.

Stott, John. The Message of Romans. Leicester: Inter-Varsity Press, 1994.

Tacitus. Annals 13.50. Dikutip dalam Robert Jewett, Romans: A Commentary. Hermeneia. Minneapolis: Fortress Press, 2007.

Witherington III, Ben. Conflict and Community in Corinth: A Socio-Rhetorical Commentary on 1 and 2 Corinthians. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.

———. Paul’s Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 2004.

Wright, N. T. Paul and the Faithfulness of God. Minneapolis: Fortress Press, 2013.

———. Paul for Everyone: Romans Part One. Louisville: Westminster John Knox, 2004.

Yoder, John Howard. The Politics of Jesus. Grand Rapids: Eerdmans, 1972.

Judaism and Rome. “Romans 13:1–7.” Accessed August 9, 2025. https://www.judaism-and-rome.org/romans-131-7.



[1] Leon Morris, The Epistle to the Romans, PNTC (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 15–16.

[2] James D. G. Dunn, Romans 1–8, WBC 38A (Dallas: Word Books, 1988), liii–liv.

[3] N. T. Wright, Paul for Everyone: Romans Part One (Louisville: Westminster John Knox, 2004), 72.

[4] C. E. B. Cranfield, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans, ICC, vol. 1 (Edinburgh: T&T Clark, 1975), 21.

[5] Tacitus, Annals 13.50, dikutip dalam Robert Jewett, Romans: A Commentary, Hermeneia (Minneapolis: Fortress Press, 2007), 792.

[6] “Romans 13:1–7,” Judaism and Rome, diakses 9 Agustus 2025, https://www.judaism-and-rome.org/romans-131-7.

[7] M. Neufeld, “The Historical Context of Romans 13:1–7,” dalam A Text Without a Context Is a Pretext, 69.

[8] Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans, NICNT (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 796–97.

[9] Direction Journal, “Submission to Governing Authorities,” Direction 23, no. 2 (1994): 24–25.

[10] John Stott, The Message of Romans (Leicester: Inter-Varsity Press, 1994), 340.

[11] Paulus, Surat kepada Jemaat di Roma, Roma 13 dalam Alkitab Perjanjian Baru, edisi revisi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1974), 432.

[12] Ben Witherington III, Paul’s Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 214–220.

[13] N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (Minneapolis: Fortress Press, 2013), 792–795.

[14] Richard B. Hays, Echoes of Scripture in the Letters of Paul (New Haven: Yale University Press, 1989), 105–110.

[15] J. Louis Martyn, History and Theology in the Fourth Gospel (Nashville: Abingdon Press, 1979), 231–235.

[16] Karl Barth, The Epistle to the Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns (Oxford: Oxford University Press, 1933), 438–440.

[17] John Howard Yoder, The Politics of Jesus (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 45–50.

[18] Bruce W. Longenecker, The Glory of God in the Face of Jesus Christ: Romans 1–8 (Grand Rapids: Eerdmans, 2001), 401–405.

[19] Ben Witherington III, Conflict and Community in Corinth: A Socio-Rhetorical Commentary on 1 and 2 Corinthians (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 124–126.

[20] C. Kavin Rowe, Early Christian Rhetoric and the Origins of the Sermon (New Haven: Yale University Press, 2006), 178–183.

[21] Ernest De Witt Burton, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans (Edinburgh: T&T Clark, 1920), 360–365.

[22] James D. G. Dunn, Romans 9–16, Word Biblical Commentary vol. 38B (Dallas: Word Books, 1988), 723–728.

[23] Klaus Haacker, “The Use of ‘Diakonos’ in Paul’s Letters,” Journal of Biblical Literature 99, no. 4 (1980): 571–584.

[24] John Calvin, Commentaries on the Epistle of Paul the Apostle to the Romans, trans. John Owen (Grand Rapids: Baker Book House, 1980), 548–553.

[25] Wayne A. Meeks, The First Urban Christians: The Social World of the Apostle Paul (New Haven: Yale University Press, 1983), 121–130.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA KUAT SEPERTI MAUT: Sebuah Refleksi dari Kitab Kidung Agung dan Relevansinya bagi Kaum Muda yang Gagal Move On

IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT: Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini