PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN
PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN: Tafsir Sosio-Naratif Roma 13:1-7 dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia
Di tengah
dinamika kehidupan bangsa yang semakin kompleks, hubungan antara iman dan
kekuasaan politik menjadi isu yang terus relevan untuk dibicarakan. Dunia kita
hari ini diwarnai dengan berbagai tantangan: ketidakadilan hukum, polarisasi
politik, penyalahgunaan wewenang, hingga krisis kepercayaan rakyat terhadap
pemimpin. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi
warga negara yang taat hukum, berpartisipasi aktif, dan berkontribusi positif
bagi kemajuan bangsa.
Bulan kemerdekaan yang kita
rayakan setiap tahun menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan kembali
hakikat kemerdekaan dan peran setiap warga negara di dalamnya. Sebagai orang
percaya, kita dipanggil untuk hidup bukan hanya di bawah tatanan negara yang
memiliki struktur hukum dan pemerintahan, tetapi juga di dalam tatanan yang
lebih tinggi, yaitu tatanan Kerajaan Allah. Dalam tatanan inilah kita belajar
bahwa pemerintah hanyalah pelayan Allah untuk menghadirkan kebaikan, menegakkan
keadilan, dan menjaga ketertiban demi kesejahteraan bersama.
Roma 13:1–7 menjadi teks yang
strategis untuk membimbing kita memahami keseimbangan antara ketaatan kepada
pemerintah dan kesetiaan kepada Allah. Ketaatan yang dimaksud bukanlah
kepatuhan tanpa kritik, melainkan ketaatan yang dilandasi kasih, kesadaran iman,
dan keberanian untuk bersuara ketika pemerintah menyimpang dari mandatnya.
Dengan perspektif ini, gereja dan pemerintah dapat berjalan beriringan sebagai
pelopor dalam menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah bangsa, nilai
yang memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi semua orang.
LATAR BELAKANG TEKS ROMA 13
Jemaat di Roma pada abad pertama
merupakan komunitas campuran antara orang Yahudi dan non-Yahudi, yang beribadah
di rumah-rumah pribadi seperti rumah Aquila dan Priskila.[1] Jemaat di Roma tidak
dibentuk oleh Paulus, melainkan oleh para pengikut Yesus yang kemungkinan besar
datang dari Yerusalem setelah peristiwa Pentakosta (Kis. 2:10). Komposisinya
campuran antara Yahudi dan non-Yahudi (Gentiles). Mereka bersekutu dalam pertemuan-pertemuan
rumah (house churches), seperti di rumah Aquila dan Priskila (Rm.
16:3–5). Struktur ini bukan hanya karena jumlah mereka yang kecil, tetapi juga
untuk menghindari perhatian berlebihan dari pihak berwenang dan untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan kota besar yang padat.
Keberadaan jemaat ini tidak lepas
dari dinamika sosial-politik kota Roma, terutama setelah dekrit pengusiran
orang Yahudi oleh Kaisar Klaudius sekitar tahun 49 M. Kaisar Klaudius
mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pengusiran orang Yahudi dari Roma.
Menurut catatan Suetonius (Claudius, 25.4), pengusiran ini terjadi
karena konflik internal komunitas Yahudi “atas dorongan seorang yang bernama
Chrestus” yang kemungkinan adalah salah tafsir terhadap nama Kristus. Ini
berarti sebagian yang diusir adalah orang Yahudi Kristen. Dampak dekrit ini
terasa selama beberapa tahun.
Setelah Klaudius wafat (54 M) dan
Nero naik tahta, larangan itu mereda, sehingga orang-orang Yahudi kembali ke
Roma, termasuk Aquila dan Priskila. Banyak dari mereka yang terusir, termasuk
Kristen berlatar belakang Yahudi baru kembali ke Roma setelah kematian
Klaudius, sehingga memunculkan tantangan integrasi antara anggota jemaat yang
lama tinggal di kota dan mereka yang baru kembali dari pengasingan.[2]
Hidup sebagai minoritas di pusat
kekaisaran, mereka menghadapi kecurigaan publik, kewajiban pajak yang
memberatkan, dan ketegangan identitas, terlebih di tengah memori segar akan
pengusiran sebelumnya. Kembalinya orang Yahudi Kristen ke Roma menimbulkan
gesekan. Jemaat yang selama pengasingan didominasi non-Yahudi kini harus
menyesuaikan diri dengan anggota Yahudi yang memiliki tradisi hukum Taurat yang
kuat. Selain itu, mereka hidup sebagai minoritas yang sering dicurigai
pemerintah dan warga Roma.
Dalam konteks ini, kewajiban
membayar pajak menjadi isu sensitif. Bagi sebagian Yahudi dan Kristen berlatar
Yahudi, membayar pajak kepada pemerintah kafir dianggap sebagai kompromi
rohani. Situasi ini diperparah oleh tingginya beban pajak di bawah pemerintahan
Romawi, sehingga ketegangan identitas dan loyalitas politik semakin tajam.[3]
Surat Roma ditulis Paulus sekitar
tahun 56–58 M, pada awal pemerintahan Kaisar Nero.[4] Pada masa ini, Nero sedang
berupaya memperkuat citra positif pemerintahannya dan menenangkan gejolak
politik. Salah satu isu sensitif yang mencuat adalah perpajakan: rakyat
memberontak terhadap beban pajak, sehingga pada tahun 58 M dilakukan reformasi
pajak oleh senat. Di Roma, pajak dibagi menjadi dua kategori utama: φόρος (phoros) yaitu pajak tanah dan kepala yang
dikenakan pada provinsi-provinsi, dan τέλος (telos) yaitu pajak atas penghasilan, barang, dan
jasa. Banyak rakyat menilai beban pajak terlalu berat. Tahun 58 M, terjadi
protes yang mendorong senat melakukan reformasi pajak. Reformasi ini memang
sedikit mengurangi beban, tapi tidak menghapus ketidakpuasan masyarakat.[5]
Sistem perpajakan Romawi meliputi
φόρος (pajak provinsi atas orang dan tanah) serta τέλος (pajak atas penghasilan, barang, dan jasa).[6] Dalam sejarah Yahudi abad
pertama, ada kelompok nasionalis bernama Zealot yang menolak kedaulatan
Roma, menolak membayar pajak, dan berpegang bahwa “Allah saja adalah Raja.”
Meskipun tidak semua orang Yahudi sependapat, pengaruh gagasan ini bisa
menyusup ke jemaat Kristen berlatar Yahudi. Jika jemaat terlibat dalam sikap
anti-pajak atau menentang otoritas Romawi secara terbuka, itu akan memicu
masalah serius dengan pemerintah. Bagi sebagian orang Yahudi dan Kristen
berlatar belakang Yahudi, pajak kepada pemerintah kafir menjadi isu teologis
sekaligus politik, terutama di tengah pengaruh gagasan kelompok Zealot yang
menolak kedaulatan Roma.[7]
Dalam Roma 13, Paulus menegaskan
bahwa semua pihak harus takluk kepada pemerintah, karena pemerintah adalah
hamba Allah untuk menegakkan keadilan dan menghukum yang jahat.[8] Tujuannya kemungkinan
besar adalah untuk mencegah jemaat terseret ke dalam gerakan pemberontakan atau
sikap anti-Roma yang bisa memicu konflik dengan pemerintah maupun perpecahan
internal gereja.[9]
Dengan demikian, perintah untuk tunduk kepada pemerintah bukanlah persetujuan
terhadap segala kebijakan negara, melainkan ajakan untuk hidup tertib, menjaga
kesaksian iman, dan mengakui bahwa otoritas tertinggi tetap berada di tangan
Allah.[10]
Paulus menulis bagian ini bukan
sekadar untuk memberikan nasihat umum tentang taat kepada pemerintah, tetapi
untuk menjawab kebutuhan pastoral dan strategis jemaat di Roma. Situasi
sosial-politik saat itu rawan: jemaat adalah kelompok minoritas yang baru saja
mengalami pengusiran (49 M) dan sedang berusaha membangun kembali kehidupan
mereka di tengah masyarakat yang curiga. Di sisi lain, isu pajak dan otoritas
pemerintah menjadi titik panas yang mudah memicu konflik.
Pesan ini juga berfungsi sebagai
penyeimbang: jemaat tidak boleh menjadi provokator politik yang mengundang
tindakan represif Roma, tetapi juga tidak boleh memberi ketaatan mutlak kepada
negara. Prinsipnya adalah ketaatan relatif kepada pemerintah dengan ketaatan
mutlak kepada Allah. Jadi, Roma 13 bukanlah legitimasi bagi kekuasaan
absolut, melainkan seruan untuk menjaga ketertiban dan integritas iman di
tengah dunia yang dikuasai kekaisaran.
PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK
KEBAIKAN: Tafsir Sosio-Naratif Roma 13:1–7 dalam Konteks Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara di Indonesia
Roma 13 merupakan
bagian dari surat Paulus yang membahas hubungan orang percaya dengan pemerintah
dalam kerangka besar kehidupan baru di dalam Kristus. Secara sosio-naratif,
teks ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial-politik Kekaisaran Romawi
abad pertama. Jemaat di Roma hidup di tengah struktur kekuasaan yang sangat
terpusat, dengan Kaisar sebagai figur tertinggi yang dipandang memiliki
otoritas mutlak. Pemerintah Romawi mempertahankan ketertiban melalui hukum,
pajak, dan aparat militer, serta menuntut loyalitas warga negara. Dalam konteks
ini, Paulus menekankan bahwa “pemerintah adalah hamba Allah” untuk mengatur dan
menghukum pelanggar hukum, serta memberi penghargaan kepada yang berbuat baik.[11]
Pernyataan Paulus bukan sekadar
ajaran moral terisolasi, melainkan bagian dari narasi yang dimulai sejak Roma
12, di mana Paulus mengajarkan hidup dalam kasih, tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan, dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian,
ketaatan kepada pemerintah dipahami sebagai wujud praktis dari kasih yang aktif
dan damai, bukan sebagai bentuk penghambaan buta terhadap kekuasaan. Paulus
mengajak jemaat untuk menjadi warga yang taat hukum, membayar pajak, dan
menghormati penguasa, sambil tetap sadar bahwa kesetiaan utama mereka adalah
kepada Allah. Hal ini sekaligus menjadi strategi pastoral untuk melindungi
jemaat dari tuduhan subversif dan menjaga kesaksian mereka di tengah masyarakat
yang diawasi ketat oleh negara.[12]
Roma 12, Paulus
mengubah fokus dari doktrin ke etika praktis. Ia memanggil jemaat untuk
mempersembahkan tubuh sebagai “persembahan yang hidup” (Rm. 12:1) dan
menekankan kasih yang tulus, kerendahan hati, dan perdamaian dengan semua orang
(Rm. 12:9–21). Prinsip “jika mungkin, sejauh tergantung padamu, hiduplah dalam
damai dengan semua orang” (Rm. 12:18) menjadi jembatan menuju Roma 13:1–7.[13]
Dalam Roma 13,
prinsip itu diaplikasikan ke dalam konteks sosial-politik: bagaimana jemaat
hidup tertib dan taat terhadap pemerintah sebagai bagian dari panggilan mereka
untuk memelihara damai. Bagi Paulus, otoritas negara memiliki fungsi yang
diizinkan Allah untuk menegakkan ketertiban dan menghukum kejahatan, dan sikap
hormat kepada pemerintah merupakan wujud nyata dari kasih dan ketaatan kepada
Allah.[14]
Paulus
menggunakan gaya retorika yang sengaja menggabungkan bahasa politik Romawi
dengan perspektif teologis Yahudi-Kristen. Saat ia mengatakan, “tiap-tiap orang harus takluk
kepada pemerintah yang di atasnya” (ay. 1), Paulus berbicara dengan bahasa yang
akrab bagi warga Kekaisaran Romawi, di mana ketertiban (ordo) dianggap
sebagai pilar utama stabilitas sosial dan politik. Bagi orang Roma, menjaga keteraturan berarti menjaga
kehormatan negara dan Kaisar.[15]
Namun, Paulus tidak berhenti di
sana. Ia menempatkan pemerintah sebagai “pelayan Allah” (διάκονος θεοῦ), sebuah istilah yang
secara sengaja menggeser sumber legitimasi kekuasaan dari Kaisar ke Allah.
Dengan demikian, meskipun secara lahiriah tampak mendukung struktur politik
Romawi, Paulus secara implisit menolak konsep kekuasaan absolut Kaisar.
Kekuasaan, menurut Paulus, hanya sah jika dijalankan sesuai mandat Allah.
Artinya, Roma tidak berdaulat mutlak, mereka tunduk pada kehendak Allah dan
dapat dimintai pertanggungjawaban moral.[16]
Paulus menyampaikan pesan yang
relevan dengan konteks sosial-politik jemaat di Roma: hidup di bawah kekuasaan
imperial, tetapi dengan kesadaran bahwa loyalitas tertinggi tetap pada Allah,
bukan negara. Jadi, teks ini bukan sekadar perintah patuh, melainkan juga
pengingat akan batas kekuasaan negara dan supremasi Allah di atas segalanya. Roma
13 tidak sekadar bicara “patuh kepada negara”, tetapi juga mengajarkan pembatasan
moral terhadap negara dan menegaskan bahwa Allah-lah otoritas tertinggi.[17]
Allah Berdaulat atas
Pemerintah (ay. 1–2) Teks asli Roma 13:1
berbunyi:
“Tidak ada exousia (otoritas/kekuasaan) yang tidak berasal dari Allah;
dan yang ada telah ditetapkan (tetagmenai) oleh Allah.” Kata ἐξουσία (exousia) berarti “otoritas” atau “hak untuk
memerintah,” bukan sekadar orang yang berkuasa. Paulus sedang bicara tentang
prinsip otoritas sebagai suatu tatanan yang berasal dari Allah. Kata kerja τεταγμέναι
(tetagmenai, perf. pass. part.) berarti “telah ditata/ditempatkan”
secara permanen oleh Allah. Ini menegaskan kedaulatan Allah atas sistem
kekuasaan. Jadi, ketaatan kepada pemerintah adalah bagian dari ketaatan kepada
Allah, selama pemerintah menjalankan mandat ilahi yang menegakkan
kebaikan dan keadilan, bukan bertindak sewenang-wenang.[18]
Pemerintah sebagai
Hamba Allah untuk Kebaikan (ay. 3–4). Roma 13:4 mengatakan: “Karena ia adalah diakonos
(pelayan) Allah bagimu eis to agathon (untuk kebaikanmu).” Kata διάκονός (diakonos) adalah kata yang dipakai Paulus untuk
“pelayan” dalam gereja (misalnya diakonos dalam pelayanan jemaat), di sini
dipakai untuk pemerintah. Artinya, pemerintah punya tugas pelayanan publik di
bawah mandat Allah. Ungkapan εἰς τὸ ἀγαθόν berarti “demi kebaikan,” yang dalam konteks teologi
Paulus merujuk pada kebaikan moral dan kesejahteraan sosial yang selaras dengan
kehendak Allah. Ini berarti pemerintah idealnya menjadi instrumen Allah dalam
menegakkan hukum dan melindungi warganya, bukan menjadi alat penindasan.[19]
Masih dalam ayat 4, Paulus
menambahkan: “Ia adalah eksekutor (pembalas) murka Allah terhadap yang berbuat
jahat.” Kata ἔκδικος (ekdikos) berarti “pelaksana penghukuman” atau
“penegak keadilan.” Pemerintah memiliki hak untuk menghukum yang salah sebagai
bagian dari mandat menjaga ketertiban.[20]
Ketaatan sebagai
Tindakan Iman (ay. 5–7). “Kamu
perlu hypotassesthai (tunduk) bukan hanya karena (takut) murka, tetapi
juga karena syneidēsis (hati nurani).” Kata ὑποτάσσεσθαι (hypotassesthai) berarti “menempatkan diri di
bawah,” dan di sini bentuknya middle/passive yang menandakan tindakan sukarela.
Ketaatan yang Paulus maksud bukan sekadar takut dihukum, tetapi lahir dari συνείδησις (syneidēsis), yaitu kesadaran batin yang
dipimpin oleh iman dan takut akan Allah.[21]
Ayat 6–7 kemudian
memerintahkan membayar pajak: φόρους τελεῖτε “bayarlah phorous (pajak tanah/kepala),” τέλος τῷ τὸ τέλος “bayarlah telos (bea/jasa),” Kedua
kata ini membedakan jenis pajak di zaman Roma, dan Paulus menekankan bahwa
membayar pajak serta memberi hormat adalah bagian dari tanggung jawab iman,
bukan sekadar kewajiban administratif.[22]
Paulus sedang
berbicara kepada jemaat di Roma yang hidup di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi
dengan segala ketegangan sosial, politik, dan religiusnya. Istilah yang Paulus gunakan, diakonos dan leitourgos,
lazimnya dipakai untuk pelayan gereja atau pelayan publik, namun di sini
diarahkan kepada pemerintah. Ini menandakan bahwa pemerintah, dalam perspektif
Paulus, bukan entitas otonom, tetapi instrumen Allah dalam menjalankan misi-Nya
menjaga ketertiban dan melindungi kehidupan manusia.[23]
Kasih, kerendahan
hati, dan pembalasan yang hanya milik Allah. Dengan begitu, penekanan Paulus bukan pada legitimasi
absolut pemerintah, tetapi pada fungsinya yang terbatas: menegakkan keadilan,
menghukum yang jahat, dan memberi penghargaan kepada yang baik. Fungsi ini
adalah “untuk kebaikan” (eis to agathon) yaitu kesejahteraan dan
keteraturan sosial, selama pemerintah melaksanakan mandatnya sesuai kehendak
Allah. Jika pemerintah menyalahgunakan kuasa dan menyimpang dari fungsi itu,
narasi besar Alkitab menunjukkan bahwa umat Allah tetap tunduk kepada Allah
sebagai otoritas tertinggi.[24]
Jadi, pesan Paulus kepada jemaat
adalah bukan sekadar “taati pemerintah” tetapi “lihat pemerintah dalam
perspektif misi Allah” mengakui peran positif pemerintah sebagai pelayan Allah,
sambil menempatkannya dalam kerangka misi Allah yang lebih besar: memelihara
ciptaan, menegakkan keadilan, dan melindungi kehidupan. Ketaatan kepada
pemerintah menjadi bagian dari kesaksian iman, bukan sekadar kewajiban politik.[25]
1.
Tanggung jawab
pemerintah.
Dalam bingkai Paulus, pemerintah hanyalah “hamba Allah” (diakonos
theou), artinya kuasa bukan milik mutlak mereka. Kuasa itu bersifat
delegatif, diberikan oleh Allah untuk tujuan eis to agathon (untuk
kebaikan). Ini berarti pemerintah dipanggil untuk menjalankan otoritasnya
dengan integritas, menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, melindungi semua
warga negara, dan menciptakan ketertiban yang mendukung kesejahteraan umum.
Roma 13:11-7 mengingatkan bahwa penyalahgunaan kuasa, korupsi, atau kebijakan
yang menindas, bukan saja bertentangan dengan etika publik, tetapi juga melawan
mandat Allah.
2.
Sikap warga
negara.
Bagi masyarakat, termasuk orang percaya (gereja), teks
ini mendorong sikap taat hukum dan memberi hormat kepada otoritas yang sah
sebagai wujud partisipasi dalam membangun bangsa. Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan
mutlak, melainkan ketaatan yang tunduk pada kesetiaan tertinggi kepada
Allah. Artinya, ketika pemerintah bertindak sesuai mandat Allah, dukungan warga
menjadi bagian dari menjaga keberlangsungan bangsa; sebaliknya, jika kebijakan
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kasih, masyarakat berhak
menyuarakan kritik konstruktif.
3.
Relevansi bagi
keberlangsungan bangsa Indonesia.
Dalam keragaman etnis, agama, dan budaya Indonesia,
penerapan Roma 13 mendorong terciptanya relasi sehat antara pemerintah dan
rakyat, pemerintah mengabdi untuk kebaikan bersama, rakyat menghormati dan
mendukung otoritas yang adil. Hubungan timbal balik ini memperkuat stabilitas
nasional, meminimalkan konflik, dan menjaga persatuan. Prinsip ini juga
membentuk budaya politik yang sehat, di mana kekuasaan tidak disakralkan, dan
kritik bukan dianggap ancaman, melainkan mekanisme koreksi demi kebaikan
bangsa.
REFLEKSI TEOLOGIS: Ketaatan, Kritik, dan Panggilan Profetis dalam Roma 13:1-7
Teks Roma
13:1-7 menegaskan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” yang dihadirkan untuk
memelihara kebaikan, menegakkan keadilan, dan menghukum yang jahat. Dalam bingkai refleksi teologis, teks ini mengingatkan
gereja di Indonesia bahwa keberadaan negara dan pemerintah adalah bagian dari
tatanan Allah untuk menjaga keteraturan hidup bersama. Namun, panggilan “tunduk
kepada pemerintah” bukanlah ketaatan membabi buta, melainkan sikap yang lahir
dari kesadaran iman bahwa otoritas sejati berasal dari Allah. Ketaatan itu
selalu disertai keberanian profetis untuk bersuara ketika pemerintah menyimpang
dari mandatnya.
Dalam konteks hukum dan politik
Indonesia, suara gereja seharusnya bukan hanya suara yang mengamini kebijakan
negara, melainkan juga suara kenabian yang menyuarakan kebenaran,
memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas, dan mengingatkan pejabat publik akan
tanggung jawab moral mereka. Ketika hukum diperalat demi kepentingan kelompok
tertentu, gereja terpanggil untuk berdiri di pihak yang lemah dan menjadi
pengingat bahwa hukum seharusnya melindungi seluruh rakyat, bukan menindas.
Demikian juga, di tengah
polarisasi politik dan praktik kekuasaan yang terkadang berorientasi pada
keuntungan pribadi atau kelompok, gereja perlu menjadi teladan integritas, mengajarkan
umat untuk terlibat dalam politik secara bersih, kritis, dan konstruktif.
Dengan demikian, ketaatan pada pemerintah dalam terang Roma 13 bukan berarti
menyerah pada ketidakadilan, melainkan menghidupi panggilan iman untuk menjadi
warga negara yang aktif membangun bangsa, melawan kejahatan, dan menegakkan
kebaikan sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Dalam perayaan bulan kemerdekaan
GMIT, kita semua hidup bukan hanya di dalam tatanan negara yang punya struktur,
hukum, dan aturan, tapi juga di dalam satu tatanan yang lebih tinggi, tatanan
sebagai warga Kerajaan Allah. Allah sendiri yang menata kehidupan supaya
manusia bisa hidup rukun, adil, dan saling menjaga. Teks Roma 13:1-7
mengingatkan bahwa pemerintah adalah “hamba Allah” untuk kebaikan rakyat, bukan
untuk menindas. Sebaliknya, jemaat pun dipanggil untuk taat, bukan karena takut
hukuman, tapi karena sadar bahwa ketaatan itu bagian dari kesetiaan kepada
Allah.
Pemerintah dan gereja menjadi
pelopor untuk menghadirkan konsep Kerajaan Allah di dunia. Artinya, segala
bentuk kebijakan, hukum, dan politik harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan,
kesejahteraan, dan perdamaian, bukan hanya demi kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai warga Kerajaan Allah, kita harus pegang prinsip bahwa tidak ada tatanan
atau peraturan manusia yang boleh berdiri lebih mutlak daripada kehendak Allah.
Di bawah kedaulatan Allah, kita
boleh saling mengisi, saling mengingatkan, dan bahkan bersuara keras kalau ada
ketidakadilan, tapi jangan sampai saling menyakiti atau merusak kesatuan. Hidup
sebagai warga Kerajaan Allah berarti hidup dalam kebenaran, menolak dominasi
yang menindas, dan mempraktikkan kasih yang melindungi semua orang. Dengan
begitu, kemerdekaan yang kita rayakan bukan hanya simbol nasional, tapi juga
tanda bahwa kita sedang menghidupi tatanan surgawi di bumi ini.
PENUTUP
Pemerintah
adalah hamba Allah yang menerima mandat untuk menghadirkan kebaikan, menegakkan
keadilan, dan melindungi warganya. Ketaatan kepada pemerintah bukanlah ketaatan
tanpa batas, tetapi tunduk dalam kerangka ketaatan yang lebih tinggi kepada
Allah. Dalam konteks Indonesia, relasi antara pemerintah dan gereja seharusnya
menjadi kolaborasi yang sehat: pemerintah menjalankan kuasa dengan integritas,
sedangkan gereja hadir sebagai mitra kritis dan profetis yang mengingatkan,
mengoreksi, dan mengarahkan kebijakan ke arah yang sesuai dengan kehendak
Allah.
Sebagai warga Kerajaan Allah,
kita terpanggil untuk menjadi warga negara yang membangun bangsa dengan nilai
kasih, keadilan, dan kebenaran. Tidak ada hukum manusia yang boleh melampaui
hukum Allah. Di bawah kedaulatan-Nya, pemerintah dan gereja dapat berjalan
bersama sebagai pelopor mewujudkan cita-cita Kerajaan Allah di bumi, tatanan
hidup yang adil, damai, dan penuh kasih. Sehingga kemerdekaan yang kita rayakan
bukan sekadar simbol, tetapi wujud nyata kehidupan yang memuliakan Allah dan
memberkati bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Barth,
Karl. The Epistle to the Romans. Translated by Edwyn C. Hoskyns. Oxford:
Oxford University Press, 1933.
Burton,
Ernest De Witt. A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the
Romans. Edinburgh: T&T Clark, 1920.
Calvin,
John. Commentaries on the Epistle of Paul the Apostle to the Romans.
Translated by John Owen. Grand Rapids: Baker Book House, 1980.
Cranfield,
C. E. B. A Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans.
International Critical Commentary, vol. 1. Edinburgh: T&T Clark, 1975.
Direction
Journal. “Submission to Governing Authorities.” Direction 23, no. 2
(1994): 24–25.
Dunn,
James D. G. Romans 1–8. Word Biblical Commentary 38A. Dallas: Word
Books, 1988.
———.
Romans 9–16. Word Biblical Commentary 38B. Dallas: Word Books, 1988.
Jewett,
Robert. Romans: A Commentary. Hermeneia.
Minneapolis: Fortress Press, 2007.
Haacker, Klaus. “The Use
of ‘Diakonos’ in Paul’s Letters.” Journal of Biblical Literature 99, no.
4 (1980): 571–584.
Hays,
Richard B. Echoes of Scripture in the Letters of Paul. New Haven: Yale
University Press, 1989.
Longenecker,
Bruce W. The Glory of God in the Face of Jesus Christ: Romans 1–8. Grand
Rapids: Eerdmans, 2001.
Martyn,
J. Louis. History and Theology in the Fourth Gospel. Nashville: Abingdon
Press, 1979.
Meeks,
Wayne A. The First Urban Christians: The Social World of the Apostle Paul.
New Haven: Yale University Press, 1983.
Moo,
Douglas J. The Epistle to the Romans. New International Commentary on
the New Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Morris,
Leon. The Epistle to the Romans. Pillar New Testament Commentary. Grand
Rapids: Eerdmans, 1988.
Neufeld,
M. “The Historical Context of Romans 13:1–7.” In A Text Without a Context Is
a Pretext, 69.
Paulus. Surat
kepada Jemaat di Roma, Roma 13 dalam Alkitab Perjanjian Baru, edisi
revisi. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 1974.
Rowe,
C. Kavin. Early Christian Rhetoric and the Origins of the Sermon. New
Haven: Yale University Press, 2006.
Stott,
John. The Message of Romans. Leicester: Inter-Varsity Press, 1994.
Tacitus.
Annals 13.50. Dikutip dalam Robert Jewett, Romans: A Commentary.
Hermeneia. Minneapolis: Fortress Press, 2007.
Witherington
III, Ben. Conflict and Community in Corinth: A Socio-Rhetorical Commentary
on 1 and 2 Corinthians. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.
———.
Paul’s Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical Commentary. Grand
Rapids: Eerdmans, 2004.
Wright,
N. T. Paul and the Faithfulness of God. Minneapolis: Fortress Press,
2013.
———.
Paul for Everyone: Romans Part One. Louisville: Westminster John Knox,
2004.
Yoder,
John Howard. The Politics of Jesus. Grand Rapids: Eerdmans, 1972.
Judaism
and Rome. “Romans 13:1–7.” Accessed August 9, 2025. https://www.judaism-and-rome.org/romans-131-7.
[1] Leon Morris, The Epistle to the
Romans, PNTC (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 15–16.
[2] James D. G. Dunn, Romans 1–8,
WBC 38A (Dallas: Word Books, 1988), liii–liv.
[3] N. T. Wright, Paul for
Everyone: Romans Part One (Louisville: Westminster John Knox, 2004), 72.
[4] C. E. B. Cranfield, A Critical
and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans, ICC, vol. 1
(Edinburgh: T&T Clark, 1975), 21.
[5] Tacitus, Annals 13.50,
dikutip dalam Robert Jewett, Romans: A Commentary, Hermeneia
(Minneapolis: Fortress Press, 2007), 792.
[6] “Romans 13:1–7,” Judaism and Rome,
diakses 9 Agustus 2025, https://www.judaism-and-rome.org/romans-131-7.
[7] M. Neufeld, “The Historical
Context of Romans 13:1–7,” dalam A Text Without a Context Is a Pretext,
69.
[8] Douglas J. Moo, The Epistle to
the Romans, NICNT (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 796–97.
[9] Direction Journal, “Submission to
Governing Authorities,” Direction 23, no. 2 (1994): 24–25.
[10] John Stott, The Message of
Romans (Leicester: Inter-Varsity Press, 1994), 340.
[11] Paulus, Surat kepada Jemaat di Roma, Roma 13 dalam Alkitab
Perjanjian Baru, edisi revisi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1974),
432.
[12] Ben Witherington III, Paul’s
Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical Commentary (Grand Rapids:
Eerdmans, 2004), 214–220.
[13] N. T. Wright, Paul and the
Faithfulness of God (Minneapolis: Fortress Press, 2013), 792–795.
[14] Richard B. Hays, Echoes of
Scripture in the Letters of Paul (New Haven: Yale University Press, 1989),
105–110.
[15] J. Louis Martyn, History and
Theology in the Fourth Gospel (Nashville: Abingdon Press, 1979), 231–235.
[16] Karl Barth, The Epistle to the
Romans, trans. Edwyn C. Hoskyns (Oxford: Oxford University Press, 1933),
438–440.
[17] John Howard Yoder, The Politics
of Jesus (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 45–50.
[18] Bruce W. Longenecker, The Glory
of God in the Face of Jesus Christ: Romans 1–8 (Grand Rapids: Eerdmans,
2001), 401–405.
[19] Ben Witherington III, Conflict
and Community in Corinth: A Socio-Rhetorical Commentary on 1 and 2 Corinthians
(Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 124–126.
[20] C. Kavin Rowe, Early Christian
Rhetoric and the Origins of the Sermon (New Haven: Yale University Press,
2006), 178–183.
[21] Ernest De Witt Burton, A
Critical and Exegetical Commentary on the Epistle to the Romans (Edinburgh:
T&T Clark, 1920), 360–365.
[22] James D. G. Dunn, Romans 9–16,
Word Biblical Commentary vol. 38B (Dallas: Word Books, 1988), 723–728.
[23] Klaus Haacker, “The Use of
‘Diakonos’ in Paul’s Letters,” Journal of Biblical Literature 99, no. 4
(1980): 571–584.
[24] John Calvin, Commentaries on
the Epistle of Paul the Apostle to the Romans, trans. John Owen (Grand
Rapids: Baker Book House, 1980), 548–553.
[25] Wayne A. Meeks, The First Urban
Christians: The Social World of the Apostle Paul (New Haven: Yale
University Press, 1983), 121–130.
Komentar
Posting Komentar