CINTA KUAT SEPERTI MAUT: Sebuah Refleksi dari Kitab Kidung Agung dan Relevansinya bagi Kaum Muda yang Gagal Move On

CINTA KUAT SEPERTI MAUT:

Sebuah Refleksi dari Kitab Kidung Agung dan Relevansinya bagi Kaum Muda yang Gagal Move On

 

 

Marcel C. S. Laisbuke., S.Th || marsellaisbuke@gmail.com

 

 

Dalam setiap budaya dan zaman, cinta selalu menjadi tema yang mempesona sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, cinta bisa memberikan kehangatan, harapan, dan kebahagiaan yang mendalam. Di sisi lain, cinta juga bisa menjadi kekuatan yang begitu intens hingga menyakitkan, bahkan terkadang menghambat proses penyembuhan diri setelah kehilangan atau perpisahan. Ungkapan “cinta kuat seperti maut” yang termaksud dalam Kitab Kidung Agung memberikan gambaran mendalam mengenai intensitas hubungan emosional yang mampu menghancurkan dan sekaligus menginspirasi. Dalam konteks kaum muda yang kesulitan untuk “move on”, refleksi dari Kitab Kidung Agung menawarkan wawasan yang kaya tentang ambiguitas cinta, mengingatkan kita akan keindahan serta risiko yang tersembunyi di balik ikatan emosional yang mendalam. Move on adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses melepaskan masa lalu, terutama terkait dengan pengalaman, hubungan, atau kejadian yang menyakitkan, dan melanjutkan hidup dengan pikiran yang lebih segar serta fokus pada masa depan. Proses ini melibatkan penerimaan atas apa yang telah terjadi, melepaskan keterikatan emosional, dan mulai membangun kembali kehidupan dengan perspektif baru. Dengan kata lain, move on berarti mengizinkan diri untuk sembuh, belajar dari pengalaman tersebut, dan melangkah maju tanpa terus-menerus terjebak dalam kenangan yang lalu.

 

Makna “Cinta Kuat Seperti Maut” dalam Kitab Kidung Agung[1]

Kitab Kidung Agung, yang sering diinterpretasikan sebagai puisi cinta antara dua kekasih, menyuguhkan gambaran cinta yang intens, penuh gairah, dan tak terelakkan. Frasa “cinta kuat seperti maut” bukan sekadar metafora; ia mencerminkan keyakinan bahwa cinta memiliki kekuatan yang mampu melampaui batas kehidupan dan kematian. Di dalam kitab ini, cinta tidak hanya merupakan perasaan ringan atau sekadar daya tarik fisik, melainkan sebuah kekuatan yang mengikat jiwa dan hati dengan intensitas yang mendalam.

Kitab Kidung Agung merupakan salah satu kitab yang terkenal dalam Alkitab, meskipun seringkali kurang mendapat pemahaman yang mendalam. Kitab ini terdiri dari delapan pasal puisi cinta. Walaupun memiliki bagian pendahuluan dan kesimpulan, kitab ini tidak disusun menurut struktur sastra yang kaku karena ia merupakan kumpulan puisi yang sebaiknya dibaca secara utuh dan dinikmati alur mengalirnya, bukan dianalisis satu per satu.

Di baris pembuka, kitab ini menyebut dirinya sebagai “Kidung Agung”, sebuah istilah dalam bahasa Ibrani yang menyatakan sesuatu yang maha kudus atau raja segala raja, sebagai cara untuk menyebut hal yang paling agung. Dengan demikian, kitab ini dianggap sebagai nyanyian paling agung di antara lagu-lagu lain. Selain itu, disebutkan pula bahwa asal usulnya berasal dari Salomo, yang kemungkinan merujuk kepada penulisnya.

Meskipun nama Salomo muncul di awal kitab, ketika membaca puisi-puisinya, suara utama yang terdengar adalah suara perempuan, sang kekasih. Ada juga suara laki-laki yang muncul, namun tampaknya bukan merupakan suara Salomo. Walaupun Salomo disebutkan beberapa kali dalam teks, ia tidak pernah menjadi narator utama. Hal ini membuat kita bertanya, karena mengingat sejarahnya yang memiliki 700 istri, Salomo tampak sebagai kandidat yang tidak biasa untuk menjadi penulis kitab ini. Dalam tradisi hikmat, Salomo lebih dikenal karena kebijaksanaan dan kecintaannya pada puisi yang mengulas setiap aspek kehidupan, sehingga warisannya terus hidup melalui kumpulan puisi cinta yang mengeksplorasi pengalaman manusia tentang cinta dan hasrat seksual.

Puisi pembuka mengenalkan tema utama kitab ini, yaitu seorang wanita muda yang jatuh cinta pada seorang gembala. Meskipun mereka belum menikah, jelas bahwa mereka telah bertunangan dan sangat antusias untuk bersama. Puisi-puisi yang ada mengalir secara bergantian antara suara sang wanita dan pria, berpindah dari satu adegan ke adegan lain tanpa mengikuti urutan cerita yang jelas. Puisi-puisi tersebut bergerak seperti simfoni, dengan gambar dan ide yang diulang dan berkembang, sehingga salah satu tema sentral yang menyatukan semua puisi adalah hasrat mendalam kedua pasangan yang terus saling mencari dan menemukan satu sama lain.

Setelah puisi pembuka, terdapat pergantian adegan di mana mereka berpisah namun terus dalam pencarian satu sama lain. Sang wanita misalnya, terbangun dari mimpinya dan pergi mencari kekasihnya, hingga mereka beberapa kali bertemu dan berpelukan. Setiap kali, ketika momen keintiman mulai terwujud, adegan tersebut tiba-tiba berakhir dan digantikan oleh adegan baru. Pola perpisahan dan pencarian inilah yang terus muncul. Tema lain yang sering muncul adalah kekaguman atas daya tarik fisik satu sama lain, yang digambarkan melalui metafora-metafora kompleks. Penting untuk diketahui bahwa gambaran dan metafora dalam puisi Ibrani ini tidak dimaksudkan untuk divisualisasikan secara literal, melainkan untuk direnungkan maknanya secara simbolis terkait dengan hubungan antara pria dan wanita.

Siklus puisi yang terus berulang ini menggambarkan ketegangan, keinginan, kegembiraan, dan daya tarik yang terus tumbuh, yang secara puitis menyoroti misteri serta kekuatan cinta seksual. Di bagian kesimpulan, semua ini dirangkum dengan pernyataan bahwa cinta “kuat seperti maut”—sebuah gambaran tentang kegairahan yang tak terpadamkan, seperti nyala api ilahi yang tidak bisa dimatikan oleh banyaknya air atau dihanyutkan oleh sungai. Bahkan jika seseorang rela mengorbankan seluruh hartanya untuk cinta, cinta itu tetap abadi. Puisi ini menekankan bahwa cinta memiliki intensitas dan keindahan yang luar biasa, namun juga membawa risiko, karena jika disalahgunakan, cinta dapat menghancurkan, sedangkan jika dipelihara dengan baik, ia dapat memberikan kehidupan.

Akhirnya, kitab ini menyampaikan bahwa cinta adalah cerminan dari keinginan manusia yang mendalam untuk sepenuhnya mengenal dan dikenal serta diinginkan oleh orang lain. Cinta merupakan salah satu pengalaman paling transenden dan misterius dalam kehidupan, dan menurut tradisi hikmat dalam Alkitab, cinta ini merupakan anugerah dari Allah.

Pdt. J. A. Telnoni dalam bukunya Tafsiran Alkitab Kidung Agung menjelaskan dengan baik tentang kekuatan cinta. Cinta dalam Kitab Kidung Agung memiliki dimensi yang jauh lebih dari sekedar hubungan asmara. Cinta adalah gambaran dari hubungan ilahi yang penuh kasih, kekuatan transformatif, dan keabadian. Telnoni menafsirkan bahwa cinta dalam Kitab Kidung Agung tidak semata-mata mengisahkan asmara manusia, melainkan merupakan gambaran simbolis dari hubungan yang intim antara Tuhan dan umat-Nya. Dalam pandangan ini, kisah cinta yang termuat di dalam kitab tersebut mencerminkan kasih sayang, keintiman, dan pengorbanan Tuhan yang tak terbatas kepada umat-Nya. Hubungan ini menjadi teladan bagi bagaimana umat seharusnya menghayati dan membalas kasih ilahi melalui hidup yang penuh ketaatan dan pengabdian.

Menurut Telnoni, cinta yang dijelaskan dalam Kitab Kidung Agung memiliki sifat transformatif. Ia melihat bahwa cinta, dengan segala intensitas dan keindahannya, memiliki kekuatan untuk mengubah jiwa dan kehidupan seseorang secara mendalam. Proses transformasi ini tidak hanya terjadi secara emosional, tetapi juga secara rohani—mengajak individu untuk mengalami pertumbuhan dan kesegaran batin melalui kasih yang tulus.

Dalam salah satu penafsirannya, Telnoni mengatakan bahwa kekuatan cinta dengan sifat maut yang absolut, yakni sesuatu yang tidak bisa dihindari dan memiliki daya melekat yang kuat. Makna ini menunjukkan bahwa cinta sejati memiliki intensitas yang mampu menembus batas-batas kehidupan duniawi, membawa seseorang pada pengalaman yang mendalam dan terkadang membawa perubahan total dalam cara memandang dan hidupnya.

Telnoni juga menekankan aspek keabadian dalam kasih yang diungkapkan dalam Kitab Kidung Agung. Cinta yang begitu mendalam dan abadi menggambarkan kasih Tuhan yang selalu hadir, meski segala sesuatu di dunia ini berubah. Hubungan antara Tuhan dan manusia tidak dipengaruhi oleh keterbatasan waktu dan ruang, melainkan bersifat kekal dan selalu menyertai setiap langkah kehidupan.

Menurut Telnoni, ungkapan “cinta kuat seperti maut” tidak dimaksudkan untuk menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang semata-mata destruktif atau menyakitkan, melainkan sebagai kekuatan yang absolut dan transformatif. Seperti maut yang tidak dapat dihindari, cinta yang sejati memiliki daya ikat yang sangat kuat—ia menyentuh inti keberadaan seseorang secara mendalam dan membawa perubahan yang signifikan. Dalam konteks Kitab Kidung Agung, cinta yang digambarkan demikian merupakan panggilan untuk mengalami suatu hubungan yang melampaui batasan duniawi dan mencapai dimensi spiritual yang lebih tinggi.

Telnoni menekankan bahwa cinta bukan sekedar soal perasaan atau emosi sementara, melainkan sebuah kenyataan yang mampu menembus batas fisik dan waktu. Sama seperti maut yang bersifat final dan tak terhindarkan, cinta yang “kuat seperti maut” menunjukkan bahwa ketika cinta benar-benar mendalam, ia akan tetap ada meskipun kondisi hidup berubah.

Tafsiran Telnoni mengajak setiap individu untuk melihat cinta sebagai kekuatan yang, meskipun bisa menyakitkan jika disalahartikan, pada hakikatnya merupakan sumber kehidupan dan pertumbuhan. Bagi mereka yang pernah terluka atau merasa gagal move on, pemahaman bahwa cinta memiliki kekuatan transformasi seperti maut memberikan harapan: melalui pengolahan pengalaman cinta—baik suka maupun duka—seseorang dapat menemukan jalan menuju pemulihan dan pertumbuhan rohani. Cinta yang mendalam, bila diterima dan diolah dengan bijaksana, akan mengantarkan seseorang pada hubungan yang lebih otentik, tidak hanya dengan sesama tetapi juga dengan Yang Ilahi.

 

Cinta dan Kegagalan Move On: Tantangan bagi Kaum Muda Masa Kini

Di era modern, konsep “move on” kerap dijadikan tolak ukur untuk menandai proses penyembuhan pasca hubungan yang berakhir. Namun, tidak jarang bagi kaum muda menemukan diri mereka terperangkap dalam perasaan yang intens, seolah-olah cinta itu memang “kuat seperti maut” dan tidak ingin melepaskan diri. Ada beberapa aspek yang membuat fenomena ini semakin relevan:

Romantisasi Cinta dalam Media Sosial dan Budaya Pop. Media sosial sering kali menampilkan gambaran cinta yang dramatis dan idealistis. Kisah-kisah cinta yang penuh liku dan perasaan mendalam menjadi konten populer. Hal ini bisa membuat individu merasa bahwa perasaan yang begitu intens adalah bukti keaslian cinta, sehingga sulit untuk melepaskan diri meski kenyataannya hubungan tersebut telah membawa luka.

Ketidakmampuan Menghadapi Ketidakpastian. Cinta yang mendalam sering kali menyertai ketakutan akan ketidakpastian. Perasaan yang belum sepenuhnya diproses dan dilepaskan membuat individu cenderung terjebak dalam harapan atau penyesalan. Dalam konteks Kitab Kidung Agung, meski keindahan puisinya mengajarkan tentang intensitas hubungan, ia juga mengingatkan kita bahwa setiap fase cinta harus diiringi oleh transformasi. Tanpa transformasi tersebut, kenangan lalu bisa menjadi beban yang sulit dilupakan.

Perjuangan Identitas dan Emosi. Kaum muda sering kali berada pada fase pencarian jati diri, di mana emosi dan pengalaman hidup menjadi bagian penting dari proses pembentukan identitas. Hubungan yang sangat intens dapat meninggalkan bekas mendalam, sehingga kegagalan untuk move on bukan semata-mata soal ketidakmampuan melupakan, melainkan juga upaya mempertahankan bagian dari diri yang pernah terikat oleh cinta tersebut. Proses ini bisa sangat rumit, mengingat setiap kehilangan juga berarti perpisahan dengan sebagian identitas yang pernah terdefinisi oleh hubungan itu.

Ungkapan “cinta kuat seperti maut” dalam Kitab Kidung Agung tidak sekadar menggambarkan intensitas emosi dalam hubungan antar manusia, melainkan juga menekankan bahwa cinta adalah kekuatan yang abadi dan transformatif. Cinta yang dimaksud tidak hanya menghubungkan dua insan secara fisik, tetapi juga meresap ke dalam ranah spiritual dan ilahi, menciptakan ikatan mendalam yang melampaui batas-batas duniawi.

Bagi kaum muda yang merasa gagal move on, pemahaman ini menawarkan sudut pandang bahwa setiap pengalaman cinta—baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan—merupakan bagian penting dari perjalanan hidup yang mengantarkan pada pertumbuhan pribadi dan penyembuhan batin. Alih-alih terjebak dalam kenangan masa lalu, seseorang diharapkan dapat melihatnya sebagai batu loncatan untuk transformasi dan pembentukan identitas yang lebih utuh, sehingga membuka jalan bagi hubungan yang lebih otentik dan bermakna, baik dengan sesama manusia maupun dengan Yang Ilahi. Dengan cara ini, cinta, meskipun penuh tantangan dan risiko, tetap merupakan anugerah yang mendorong pembentukan diri yang lebih utuh dan memberikan makna mendalam bagi kehidupan.

Di tengah budaya populer yang mengedepankan konsep move on sebagai tolok ukur penyembuhan dari perpisahan, ungkapan “cinta kuat seperti maut” mengingatkan bahwa cinta yang mendalam tidak mudah untuk dilupakan. Cinta yang begitu intens ini menyentuh lapisan terdalam jiwa, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan, sehingga proses move on menjadi lebih menantang. Meskipun perpisahan sering dianggap sebagai kesempatan untuk memulai lembaran baru, cinta yang pernah mengikat dengan kekuatan maut mengandung potensi besar untuk transformasi pribadi—mendorong seseorang untuk melihat setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, sebagai bagian penting dari perjalanan hidup. Dengan memaknai perpisahan secara reflektif, setiap luka dapat menjadi sumber kekuatan untuk tumbuh dan menemukan kembali makna dalam hidup, sehingga cinta yang pernah begitu kuat tidak lagi membelenggu, melainkan menginspirasi langkah menuju kehidupan yang lebih otentik dan bermakna.

 

Refleksi: Cinta Kuat Seperti Maut

Cinta kuat seperti maut; ia bisa memberikan segalanya, kebahagian dan kesempurnaan. Namun ia juga bisa mengambil segalanya. Cinta adalah kekuatan yang memiliki dualitas mendalam, ibarat maut yang tak terhindarkan. Di satu sisi, cinta dapat memberikan segalanya—ia mengisi hidup dengan kebahagiaan, kehangatan, dan kesempurnaan. Kita bahkan menemukan dukungan, kepercayaan, dan mimpi yang menginspirasi, seolah-olah segala potensi hidup kita terwujud dalam keindahan kasih yang tulus. Namun, di sisi lain, cinta juga memiliki kekuatan untuk mengambil segalanya. Bila disalahartikan atau disia-siakan, cinta bisa menghancurkan segala yang telah dibangun, meninggalkan luka mendalam dan kehampaan yang sulit diisi. Dalam kerumitan ini, cinta menjadi anugerah sekaligus kutukan, yang dengan kekuatan yang sama dapat mengangkat jiwa ke puncak kebahagiaan atau menenggelamkannya dalam keputusasaan.

Cinta dalam Kitab Kidung Agung bukan hanya perasaan sesaat atau ketertarikan fisik, tetapi merupakan kekuatan yang mengubah dan menghubungkan manusia dengan Tuhan. Ungkapan “cinta kuat seperti maut” menggambarkan cinta yang begitu mendalam sehingga mampu melampaui batas duniawi dan membawa pertumbuhan rohani. Meskipun cinta yang intens kadang menyakitkan bila disalahartikan, ia tetap merupakan anugerah Tuhan yang mengikat hati dan jiwa. Pengalaman cinta, baik yang bahagia maupun yang menyakitkan, merupakan bagian penting dari perjalanan hidup yang membantu membentuk identitas seseorang dan membuka jalan menuju hubungan yang lebih otentik, baik dengan sesama maupun dengan Yang Ilahi.

Kitab Kidung Agung dengan segala keindahan puisinya mengingatkan bahwa cinta, dalam intensitasnya yang mendalam, memang bisa terasa “kuat seperti maut”. Bagi kaum muda yang merasa gagal move on, ungkapan ini bukanlah kutukan, melainkan sebuah pengingat bahwa setiap emosi, betapapun menyakitkan, memiliki nilai dan pelajaran tersendiri. Dalam proses perjalanan emosional, penting untuk belajar menerima, melepaskan, dan menemukan kembali diri. Hanya dengan demikian, cinta—dengan segala intensitasnya—dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan sebagai kekuatan yang menguatkan, bukan malah membelenggu.

Cinta, meskipun terkadang meninggalkan luka dan kesulitan untuk move on, adalah kekuatan yang transformatif dan menghubungkan kita dengan yang Ilahi. Kitab Kidung Agung mengajarkan bahwa setiap pengalaman cinta—baik yang indah maupun yang menyakitkan—merupakan bagian penting dari perjalanan hidup yang membentuk identitas dan membuka jalan menuju pertumbuhan rohani. Dengan memahami makna mendalam dari ungkapan “cinta kuat seperti maut,” kita diundang untuk menerima setiap dinamika cinta sebagai anugerah yang membantu kita menemukan kedamaian, membangun hubungan yang lebih otentik, dan terus melangkah menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Bagi kaum muda yang merasa gagal move on, konsep “cinta kuat seperti maut” menawarkan refleksi mendalam tentang betapa cinta, meskipun pernah memberikan kebahagiaan dan kesempurnaan, juga dapat meninggalkan luka yang sulit disembuhkan. Ini mengajarkan bahwa cinta bukanlah sekadar pengalaman yang indah, melainkan juga kekuatan yang bisa mengikat dan menahan seseorang dalam kenangan masa lalu. Bagi mereka yang masih terperangkap dalam bayang-bayang cinta yang pernah ada, pemahaman bahwa cinta memiliki dualitas—mampu memberi segalanya sekaligus mengambil segalanya—menjadi kunci untuk mulai melepaskan dan menerima perjalanan hidup.

Dengan menyadari bahwa setiap momen cinta, baik yang manis maupun yang pahit, adalah bagian dari proses pertumbuhan dan pembentukan identitas, kaum muda diharapkan dapat mengubah rasa sakit menjadi kekuatan baru untuk bangkit. Mereka diajak untuk melihat perpisahan bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai kesempatan untuk menemukan kebijaksanaan dan membangun hubungan yang lebih otentik, baik dengan sesama maupun dengan Yang Ilahi. Pada akhirnya, konsep ini mendorong setiap individu untuk tidak terjebak dalam masa lalu, melainkan belajar dari pengalaman tersebut sebagai batu loncatan untuk pertumbuhan pribadi dan penyembuhan batin.

 

---

 

Tulisan ini saya dedikasikan bagi setiap orang yang belum berhasil melupakan masa lalu, sebagai cara merayakan Hari Valentine. Dengan harapan bahwa akan ada transformasi berpikir untuk menjalani hidup dalam bayang-bayang kenangan.

 

---



[1] J. A. Telnoni, Tafsiran Akitab Kidung Agung, Kupang; Penerbit “Artha Wacana” Press, 2005.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT: Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini