MENGEMBANGKAN POTENSI DALAM KESETIAAN: Tafsir Naratif Lukas 19:11–27 dalam Perspektif Pendidikan Kristen

Oleh: Marsel Cornalius Silvester Laisbuke, S.Th

Email: marsellaisbuke@gmail.com

 


ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji secara naratif perumpamaan Yesus dalam Lukas 19:11–27, yang berbicara tentang seorang bangsawan dan tiga hamba sebagai simbol tanggung jawab spiritual umat dalam masa penantian akan Kerajaan Allah. Pendekatan ini tidak hanya mengeksplorasi struktur cerita dan simbolisme tokoh-tokoh di dalamnya, tetapi juga menyelami makna teologis yang relevan dengan kehidupan masa kini. Dengan menggali konteks historis dan sosial teks, serta mengaitkannya dengan realitas gerejawi dan sosial kontemporer, tulisan ini menekankan bahwa kesetiaan dan tanggung jawab bukan sekadar tuntutan etis, tetapi adalah ekspresi iman yang aktif dan dinamis. Dalam Bulan Pendidikan GMIT, tulisan ini menegaskan bahwa pengembangan potensi pribadi dan kolektif adalah panggilan Allah yang tidak boleh dijawab dengan rasa takut atau pasivitas, melainkan dengan keberanian, kesungguhan, dan pengabdian. Gereja dipanggil untuk menjadi ruang pembinaan karakter, bukan hanya tempat ibadah, agar setiap jemaat mampu mengelola talenta sebagai bentuk nyata partisipasi dalam menghadirkan Kerajaan Allah.

 

PENDAHULUAN

Setiap manusia diciptakan dengan potensi ilahi dan kapasitas untuk bertumbuh. Namun, potensi tersebut tidak akan menghasilkan buah tanpa disertai kesetiaan dan tanggung jawab. Di tengah realitas dunia yang serba cepat dan instan, nilai-nilai seperti konsistensi dan dedikasi justru menjadi semakin langka. Kesetiaan kerap kali hanya menjadi slogan yang indah di bibir, tetapi kosong dalam tindakan. Padahal, dalam terang iman Kristen, kesetiaan bukan sekadar sikap moral, melainkan bagian mendasar dari spiritualitas yang otentik. Panggilan untuk bertanggung jawab atas hidup dan karunia yang telah diterima adalah bagian dari jawaban iman yang sejati terhadap kasih karunia Allah.

Perumpamaan Yesus dalam Lukas 19:11–27 menjadi fondasi teologis yang kuat untuk memahami bagaimana iman yang hidup menuntut tindakan konkret dalam mengelola apa yang telah dipercayakan oleh Tuhan. Melalui pendekatan naratif, kita dapat menangkap pesan transformatif dari teks ini bagi gereja masa kini, bahwa kesetiaan bukanlah hasil dari ketakutan, tetapi buah dari kepercayaan dan kasih yang aktif dalam pelayanan dan kehidupan sehari-hari.

 

TAFSIR NARATIF LUKAS 19:11–27

Latar Naratif dan Konteks Historis

Perumpamaan tentang mina dalam Lukas 19:11–27 disampaikan oleh Yesus dalam momentum yang sangat penting: perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Jalur menuju Yerusalem bukan sekadar rute geografis, tetapi jalur teologis yang melambangkan perjalanan menuju penderitaan, kematian, dan akhirnya kemenangan kebangkitan. Dalam ketegangan waktu itu, banyak orang Yahudi memiliki ekspektasi bahwa Kerajaan Allah akan segera terwujud secara nyata yakni sebagai pemulihan politis yang membebaskan mereka dari dominasi Romawi (Luk. 19:11).

Untuk meluruskan pengharapan yang keliru ini, Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan profetik: seorang bangsawan yang hendak pergi ke negeri jauh untuk menerima kerajaan dan kemudian kembali. Sebelum keberangkatannya, bangsawan tersebut memercayakan sepuluh mina kepada sepuluh hambanya, dan memberikan satu perintah utama: "usahakanlah ini sampai aku kembali" (ay. 13). Perintah ini menggambarkan panggilan partisipatif umat dalam masa penantian akan kedatangan kembali Kristus.

Dalam narasi ini, Yesus secara tersirat menggambarkan diri-Nya sebagai bangsawan itu yang akan "pergi" (naik ke surga), menerima kerajaan (berkuasa bersama Bapa), dan "kembali" (parousia, kedatangan kembali). Sementara itu, para hamba melambangkan semua orang percaya yang hidup dalam masa sudah dan belum dari Kerajaan Allah. Mereka tidak dipanggil untuk pasif atau sekadar menjaga apa yang telah diberikan, tetapi untuk mengusahakan dan menggandakan setiap kepercayaan dan karunia yang Tuhan telah berikan selama masa penantian itu.

Dengan kata lain, Yesus mengajarkan bahwa iman yang sejati bukanlah penantian yang diam, melainkan penantian yang bekerja, berbuah, dan bertanggung jawab. Perumpamaan ini menjadi koreksi teologis terhadap semua bentuk spiritualitas yang hanya menunggu, tetapi tidak bertindak; yang hanya percaya, tetapi tidak mengelola; yang hanya berharap, tetapi tidak berproses.

 

Paradigma Kerajaan Allah: Already and Not Yet

Dalam Injil Lukas, Yesus kerap mengajar mengenai Kerajaan Allah. Banyak orang Yahudi saat itu berharap bahwa Mesias akan mendirikan kerajaan politis yang membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Namun, Yesus datang membawa visi yang berbeda: Kerajaan Allah bukan kerajaan duniawi, melainkan realitas rohani yang sudah dimulai melalui pelayanan-Nya, tetapi belum sepenuhnya digenapi.

Konsep ini dikenal dalam teologi sebagai already and not yet, artinya, Kerajaan Allah sudah hadir (melalui karya Yesus: pengajaran, mukjizat, kebangkitan), tetapi belum sempurna (akan digenapi sepenuhnya saat Kristus datang kembali). Selama masa ini, umat percaya hidup dalam ketegangan antara janji dan penggenapan, antara dunia lama dan dunia baru. (cf. George Eldon Ladd, The Gospel of the Kingdom, 1959)

 

Tokoh Bangsawan: Simbol Kristus

Dalam perumpamaan ini, tokoh bangsawan melambangkan Yesus sendiri. Ia “pergi untuk menerima kerajaan” ini menunjuk kepada kenaikan-Nya ke surga setelah kebangkitan (Kis. 1:9-11), dan “akan kembali” menunjuk pada kedatangan-Nya yang kembali (parousia). Ini adalah bahasa figuratif untuk menjelaskan masa antara kenaikan dan kedatangan kembali Kristus.

 

Para Hamba: Simbol Umat Percaya

Sepuluh hamba yang diberi masing-masing satu mina melambangkan umat percaya di dunia ini. Mereka menerima anugerah, kesempatan, dan tanggung jawab dari Tuhan selama masa penantian. Perintah “usahakanlah ini sampai aku kembali” (Luk. 19:13) menunjukkan bahwa iman Kristen menuntut tindakan aktif, bukan pasif.

 

Mina: Bukan Sekadar Uang

Satu mina pada masa itu bernilai sekitar 100 hari upah kerja buruh (menurut tafsiran Craig Keener, 1993). Tapi dalam perumpamaan ini, mina bukan hanya tentang ekonomi. Mina melambangkan:

·       Potensi hidup yang dianugerahkan Tuhan,

·       Kesempatan bertumbuh dalam pelayanan dan karakter,

·       Karunia rohani atau kemampuan (talenta),

·       Panggilan hidup yang perlu direspons secara bertanggung jawab.

Dengan demikian, mina adalah simbol dari segala sesuatu yang dipercayakan Tuhan, baik itu kemampuan, posisi, relasi, bahkan waktu. Yesus sedang membentuk paradigma baru bagi para pengikut-Nya: Menanti Kerajaan Allah bukan berarti diam, tetapi aktif berkarya di dunia. Para hamba diberi kepercayaan bukan agar menyimpannya, tetapi untuk mengusahakan dan mengembangkannya, sebab di akhir zaman akan ada penghakiman atas bagaimana setiap orang menjalani panggilannya (bdk. Mat. 25:14–30, perumpamaan talenta).

 

Dinamika Para Hamba

Yesus menyoroti dengan jelas tiga respons berbeda dari para hamba terhadap kepercayaan yang diberikan oleh tuannya. Dua dari sepuluh hamba yang disebutkan secara eksplisit berhasil menggandakan mina yang dipercayakan kepada mereka. Mereka bukan hanya menunjukkan keterampilan mengelola, tetapi juga memperlihatkan sikap bertanggung jawab yang aktif. Sebagai ganjarannya, mereka mendapat pujian dan tanggung jawab yang lebih besar: “Engkau telah setia dalam perkara kecil, karena itu terimalah kuasa atas sepuluh kota” (Luk. 19:17).

Namun, kontras muncul dari hamba ketiga. Ia tidak mencuri, tidak menghamburkan mina itu, dan tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Ia hanya menyimpan mina itu dan mengembalikannya dalam keadaan semula. Dari sudut pandang dunia, sikapnya mungkin dianggap “aman” atau “hati-hati.” Namun dari perspektif teologis, ketiadaan tindakan itu justru dikategorikan sebagai ketidaksetiaan dan bahkan kejahatan (ay. 22–23).

Apa yang membuatnya bersikap demikian? Rasa takut. Ia berkata, “Tuan, aku takut…” (ay. 21). Ketakutan itu membuatnya memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Ketakutan bukan hanya menjadi penghambat tindakan, tetapi dalam konteks ini menjadi penyebab kegagalan rohani karena ia tidak merespons kepercayaan tuannya dengan tanggung jawab yang seharusnya.

Inilah poin penting dari Yesus: ketakutan yang melumpuhkan bukanlah kebajikan, melainkan bentuk pasif dari ketidaktaatan. Ketika rasa takut menghalangi kita untuk berbuat baik, bertumbuh, melayani, atau mengembangkan potensi, maka ketakutan itu menjadi dosa. Bukan karena takut itu sendiri salah, tetapi karena kita memilih untuk tunduk pada rasa takut alih-alih tunduk pada kehendak Allah yang mempercayakan sesuatu kepada kita.

Dalam terang ini, iman Kristen sejati tidak bisa dipisahkan dari keberanian untuk bertindak, sekalipun dengan risiko kegagalan. Allah tidak meminta kita untuk sempurna, tetapi untuk bertindak setia dengan apa yang telah Ia percayakan, bukan untuk menyimpannya dalam kenyamanan dan rasa aman semu. Ketakutan, bila dibiarkan memimpin hidup, dapat menjadikan kita hamba yang jahat bukan karena kita berbuat jahat, tetapi karena kita menolak berbuat baik.

 

NARASI IMAN DAN TANGGUNG JAWAB: Ketegangan antara Penantian dan Pertanggungjawaban

Yesus dalam perumpamaan ini menggarisbawahi bahwa setiap kesempatan adalah anugerah, dan setiap anugerah menuntut pertanggungjawaban. Iman bukanlah keadaan pasif, melainkan respons aktif terhadap kepercayaan Allah. Iman dan tanggung jawab adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Maka, hamba yang gagal bertindak, kehilangan haknya atas mina itu.

Perumpamaan dalam Lukas 19:11–27 bukan hanya kisah moral atau pelajaran etika, melainkan menyimpan ketegangan eksistensial yang dalam: antara menanti kedatangan Kristus dan menjawab tanggung jawab ilahi. Dalam teologi Kristen, penantian bukanlah sebuah kondisi pasif, melainkan fase di mana umat dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya Allah secara aktif.

Yesus, melalui tokoh bangsawan dalam perumpamaan ini, sedang menyampaikan pesan bahwa selama Ia “pergi” (kenaikan-Nya ke surga), para murid dan jemaat tidak boleh diam. Mereka harus mengusahakan "mina" segala bentuk karunia, waktu, relasi, dan kapasitas hidup sebagai bagian dari keterlibatan mereka dalam mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia. “Iman Kristen tidak menanti Tuhan datang dengan tangan bersilang, melainkan dengan tangan yang bekerja dan hati yang berjaga.” Para teolog kontemporer menyebutnya sebagai ‘active eschatology’ pengharapan yang diwujudkan dalam tindakan.

Hamba yang setia dalam perumpamaan ini menjadi gambaran ideal dari orang percaya yang tidak hanya percaya secara doktrinal, tetapi juga bertindak secara nyata. Ia tidak tahu kapan tuannya akan kembali, namun itu tidak berhenti dari mengelola dan mengembangkan yang dipercayakan. Artinya: kesetiaan sejati diuji bukan saat kita dilihat, tetapi saat kita ditinggal menanti.

Dalam konteks gereja masa kini, hal ini sangat relevan. Banyak orang Kristen hidup di dalam gereja, melayani, atau bahkan aktif dalam komunitas, tetapi tidak mengembangkan potensi atau memikul tanggung jawab yang sebenarnya telah dipercayakan Tuhan kepada mereka. Mereka menunggu dengan pasif, bukannya mengabdi secara aktif. Inilah bentuk kegagalan spiritual yang dikritik Yesus: ketidaksetiaan bukan hanya karena kejahatan, tetapi karena tidak berbuat apa-apa (lih. ayat 20–23).

 

REFLEKSI KONTEKSTUAL: Pendidikan sebagai Lahan Pengembangan Mina

Perumpamaan tentang mina dalam Lukas 19:11–27 adalah ajaran profetik yang menyentuh inti dari spiritualitas Kristen: iman yang aktif, kesetiaan dalam tanggung jawab, dan keberanian mengelola potensi sebagai wujud partisipasi dalam Kerajaan Allah. Yesus menyampaikan pesan ini bukan sekadar untuk memberi gambaran masa depan, tetapi untuk menanamkan paradigma hidup bagi para murid-Nya yakni bahwa hidup menanti Kerajaan Allah harus dijalani dengan kesungguhan dan keterlibatan.

Perumpamaan ini menekankan bahwa setiap anugerah Tuhan (mina) entah itu talenta, waktu, kemampuan, atau kesempatan adalah amanat yang harus diusahakan. Ketidakaktifan, bahkan jika beralasan takut atau merasa tidak cukup, adalah bentuk ketidaksetiaan. Maka, iman yang sejati adalah iman yang tidak berhenti dalam pengakuan, melainkan bergerak dalam tindakan nyata.

Dalam terang Bulan Pendidikan GMIT, pesan perumpamaan ini sangat relevan. Pendidikan bukan sekadar proses transmisi pengetahuan, melainkan medan spiritual di mana mina dikembangkan dan iman diwujudkan dalam tindakan nyata.

1.  Pendidikan sebagai Tanggung Jawab Spiritual

Setiap peserta didik dan pendidik adalah hamba yang menerima “mina”. Potensi intelektual, kreativitas, keterampilan, dan karakter bukan hanya milik pribadi, melainkan titipan Tuhan untuk dikembangkan dan dibagikan. Maka belajar bukan hanya kewajiban moral, tapi panggilan rohani. Seorang murid yang setia bukan hanya yang lulus ujian, tetapi yang bertumbuh dalam karakter, tanggung jawab, dan kasih kepada sesama. Dalam konteks GMIT, pendidikan harus dibingkai sebagai alat transformasi Kerajaan Allah bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi manusia yang taat, tekun, dan berdampak.

2.  Ketakutan sebagai Musuh Pendidikan

Ketakutan adalah hambatan besar dalam pendidikan. Seperti hamba yang menyimpan mina karena takut, banyak anak muda tidak berkembang karena takut gagal, takut salah jurusan, takut bicara, atau takut mengecewakan. Gereja dan komunitas pendidikan harus menjadi ruang yang membebaskan dari ketakutan, dan menguatkan budaya keberanian bertumbuh. Pendidikan sejati membentuk individu yang bukan hanya tahu, tetapi berani mencoba, bertanggung jawab, dan setia dalam proses.

3.  Kesetiaan dalam Hal Kecil sebagai Nilai Pendidikan Kristen

Banyak hal besar dalam hidup dimulai dari kesetiaan terhadap hal-hal kecil: hadir tepat waktu, belajar konsisten, jujur dalam tugas, menghormati guru, dan melayani sesama. Perumpamaan ini menegaskan bahwa Tuhan menghargai kesetiaan dalam hal-hal kecil, dan dari situlah kepercayaan besar lahir. Pendidikan Kristen harus menanamkan nilai ini secara mendalam, baik di rumah, sekolah, maupun gereja.

4.  Pendidikan sebagai Partisipasi dalam Mewujudkan Kerajaan Allah

Misi pendidikan Kristen bukan sekadar “meluluskan”, tetapi mengutus. Setiap peserta didik dipersiapkan bukan hanya untuk masa depan duniawi, tetapi untuk mengambil bagian dalam karya Allah di dunia. Maka, belajar dan mengajar adalah bentuk pelayanan, bukan sekadar rutinitas.

 

PENUTUP

Yesus, melalui perumpamaan tentang mina dalam Lukas 19:11–27, mengundang setiap orang percaya untuk memandang hidup bukan sebagai tempat menunggu pasif, tetapi sebagai ladang garapan rohani di mana mina simbol dari potensi, waktu, pengetahuan, dan kesempatan harus dikelola, dikembangkan, dan dilipatgandakan. Perintah sang bangsawan untuk “usahakanlah ini sampai aku kembali” (Luk. 19:13) tidak bisa dipisahkan dari kehidupan nyata umat Kristen, termasuk dalam dunia pendidikan.

Dalam konteks pendidikan, pesan ini berbicara keras dan jelas. Guru bukan hanya penyampai ilmu, melainkan pengelola anugerah yang dipercayakan kepada generasi berikut. Siswa bukan sekadar penerima pengetahuan, tetapi hamba-hamba muda yang diberi "mina" dalam bentuk kecerdasan, kreativitas, dan waktu belajar, yang harus diolah demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama.

Demikian pula, gereja dan orang tua dipanggil untuk menjadi fasilitator pertumbuhan iman dan karakter, bukan hanya pengamat perkembangan. Ketakutan akan gagal, rasa nyaman dalam zona aman, atau budaya pasif dalam mendidik generasi muda, semua itu adalah bentuk ‘menyimpan mina dalam kain’ tidak menghasilkan buah, dan tidak menunjukkan kesetiaan.

Dalam terang itu, perumpamaan ini menjadi cermin tajam bagi dunia pendidikan Kristen: Apakah kita mendidik untuk menggali potensi yang Tuhan tanamkan, atau justru membiarkannya tersimpan karena takut, malas, atau abai?

Yesus tidak mencari manusia yang sempurna, tetapi mereka yang setia dalam perkara kecil. Maka dalam ekosistem pendidikan, kesetiaan seorang guru yang mendampingi murid dengan sabar, atau kesungguhan seorang siswa yang berjuang meski dengan keterbatasan, adalah bentuk nyata dari spiritualitas tanggung jawab yang Yesus ajarkan.

Dalam Bulan Pendidikan GMIT ini, marilah kita tidak hanya menunggu datangnya perubahan besar dari luar, tetapi memulainya dari dalam dari kesetiaan pada hal-hal yang sederhana dan sering kali tak terlihat: mendidik dengan kasih, belajar dengan tekun, membimbing dengan sabar, dan membangun budaya tanggung jawab di tengah keluarga, gereja, dan sekolah.

Perumpamaan tentang mina mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak hanya menilai apa yang kita miliki, tetapi lebih dari itu apa yang kita lakukan dengan apa yang telah Ia percayakan. Kita semua adalah hamba yang diberi tanggung jawab, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban bukan atas besarnya hasil, tetapi atas kesetiaan dalam proses.

Jangan tunggu berkat besar untuk mulai setia. Mulailah setia hari ini, karena dari kesetiaan itulah Tuhan mempercayakan hal-hal besar esok hari. Semoga perayaan Bulan Pendidikan GMIT ini bukan hanya menjadi momentum perayaan kegiatan gerejawi, tetapi menjadi panggilan baru bagi kita semua untuk menghidupi iman secara aktif: mengajar sebagai bentuk ibadah, belajar sebagai tanggapan iman, dan mendidik sebagai bentuk pelayanan.

Tuhan Yesus memberkati.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Green, Joel B. The Gospel of Luke. The New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997.

Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1993.

Ladd, George Eldon. The Gospel of the Kingdom: Scriptural Studies in the Kingdom of God. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1959.

Peterson, Eugene H. A Long Obedience in the Same Direction: Discipleship in an Instant Society. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2000.

Wright, N. T. Luke for Everyone. London: SPCK, 2004.

Laisbuke, Marsel C. S. “Setia dan Bertanggung Jawab Kembangkan Potensi.” Khotbah Ibadah Minggu GMIT Imanuel Nembrala, 20 Juli 2025. Naskah Khotbah Pribadi.

Marshall, I. Howard. The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text. New International Greek Testament Commentary. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1978.

Stein, Robert H. Luke: An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture. The New American Commentary, Vol. 24. Nashville, TN: B&H Publishing Group, 1992.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA KUAT SEPERTI MAUT: Sebuah Refleksi dari Kitab Kidung Agung dan Relevansinya bagi Kaum Muda yang Gagal Move On

PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT: Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini