MENDIDIK DALAM KEBENARAN: Sebuah Refleksi Teologis
2 Yohanes 1:4–11 dan Relevansinya bagi Gereja Masa Kini
Marsel C. S. Laisbuke., S.Th || marsellaisbuke@gmail.com
Tulisan ini merupakan refleksi teologis dan praktis atas
2 Yohanes 1:4–11 yang menyoroti pentingnya pendidikan iman dalam terang
kebenaran Kristus. Rasul Yohanes, dalam surat pendek ini, memperingatkan jemaat
akan bahaya ajaran sesat yang menyangkal inkarnasi Kristus, sekaligus mengajak
umat percaya untuk hidup dalam kasih dan ketaatan. Tulisan ini membahas
bagaimana kebenaran dalam iman Kristen bukan sekadar doktrin, melainkan gaya
hidup yang harus diajarkan, diteladankan, dan diwariskan dalam konteks keluarga
dan gereja. Melalui pendekatan teologis, tulisan ini menegaskan bahwa mendidik
dalam kebenaran adalah tanggung jawab kolektif gereja di tengah zaman yang
mengaburkan batas antara kasih dan kebenaran. Keluarga dan jemaat lokal
diposisikan sebagai ruang formasi iman, tempat kasih yang taat dan kebenaran
yang hidup harus dijalankan secara konsisten, sebagai warisan iman lintas
generasi.
Di tengah arus zaman yang semakin kompleks, gereja menghadapi tantangan
serius dalam mempertahankan kemurnian kebenaran iman. Era digital yang serba
cepat dan terbuka memberikan akses informasi tanpa batas, namun sekaligus
memperluas ruang bagi kesimpangsiuran ajaran, relativisme nilai, dan
spiritualitas yang lepas dari akar kebenaran Injil. Dominasi budaya toleransi
yang tidak dibarengi dengan kedewasaan rohani sering kali menjebak umat percaya
dalam bentuk-bentuk kompromi yang samar dan tidak disadari.
Dalam situasi
seperti ini, kebutuhan akan pendidikan iman yang berakar pada kebenaran Kristus
menjadi semakin mendesak, bukan hanya untuk mempertahankan warisan iman, tetapi
juga untuk membentuk generasi yang mampu membedakan mana kasih sejati dan mana
kesesatan yang tersembunyi di balik wajah keramahtamahan.
Kebenaran menjadi
relatif, kasih disamakan dengan penerimaan tanpa kritik, dan spiritualitas
kadang terlepas dari dasar ajaran Kristus yang sejati. Dalam situasi ini, surat
2 Yohanes 1:4–11 memberikan pesan yang sangat relevan: panggilan untuk mendidik
dalam kebenaran.
Surat ini,
meskipun singkat, berisi seruan yang kuat dari Rasul Yohanes kepada komunitas
jemaat yang ia gambarkan sebagai “Ibu yang terpilih dan anak-anaknya.” Dalam
konteks sejarah, jemaat sedang dihadapkan pada ajaran sesat dari kaum Gnostik,
yang menyangkal bahwa Yesus benar-benar datang sebagai manusia. Bagi Yohanes,
ajaran ini bukan hanya keliru, tetapi berbahaya, karena menyerang inti
keselamatan Kristen. Menanggapi situasi ini, Yohanes menegaskan bahwa hidup
dalam kasih harus selalu berpijak pada kebenaran, dan bahwa mendidik umat untuk
tetap tinggal dalam ajaran Kristus adalah bentuk kasih yang sejati.
Dengan latar
belakang tersebut, tulisan ini mencoba mengangkat kembali urgensi mendidik
dalam kebenaran, tidak hanya sebagai tanggung jawab individu atau pemimpin
rohani, tetapi sebagai misi bersama gereja dan keluarga Kristen. Pendidikan
iman bukan hanya transmisi doktrin, tetapi juga pewarisan gaya hidup yang
ditopang oleh ketaatan kepada Kristus. Dalam bagian-bagian berikut, akan
diuraikan bagaimana surat 2 Yohanes memberi landasan teologis dan arah praktis
bagi pembentukan iman yang sehat, kritis, dan kontekstual di tengah dunia yang
terus berubah.
TAFSIR TEKS
Kitab 2 Yohanes 1:4–11 merupakan bagian penting dari sebuah surat pendek
yang ditulis oleh Rasul Yohanes kepada “Ibu yang terpilih dan anak-anaknya,”[1]
yang secara umum ditafsirkan sebagai simbol dari jemaat lokal dan
anggota-anggotanya. Surat ini ditulis pada akhir abad pertama Masehi, masa
ketika gereja perdana sedang menghadapi ancaman serius dari ajaran sesat,
khususnya dari kalangan Gnostik. Kaum Gnostik mengajarkan bahwa dunia materi
itu jahat dan karena itu Yesus tidak mungkin sungguh-sungguh menjadi manusia,
melainkan hanya tampak seperti manusia saja.
Ajaran ini
bertentangan langsung dengan inti iman Kristen yang menegaskan bahwa Yesus
adalah Allah yang sungguh-sungguh menjadi manusia (inkarnasi). Yohanes menyebut
ajaran ini sebagai ajaran anti-Kristus dan memperingatkan jemaat agar tidak
memberi tempat bagi pengajar-pengajar palsu itu. Dalam ayat 4–6, Yohanes
menyatakan sukacitanya karena melihat sebagian jemaat hidup dalam kebenaran. Ia
menegaskan bahwa kasih Kristen sejati bukan sekadar perasaan, tetapi diwujudkan
dalam ketaatan pada perintah-perintah Allah. Dengan kata lain, kasih dan
kebenaran bukanlah dua hal yang terpisah, tetapi saling melengkapi dan harus
berjalan bersama dalam kehidupan iman.
Selanjutnya,
dalam ayat 7–11, Yohanes memperingatkan secara tajam bahwa banyak penyesat
telah muncul dan bahwa mereka yang tidak mengakui Yesus datang sebagai manusia
adalah penyesat dan anti-Kristus. Ia meminta jemaat untuk berjaga-jaga dan
menolak memberi sambutan atau dukungan terhadap mereka, karena memberi tempat
kepada pengajar sesat berarti mengambil bagian dalam kejahatan mereka. Dengan
latar belakang tersebut, tema inti dari bagian ini adalah seruan untuk tetap
setia pada ajaran Kristus yang benar, hidup dalam kasih yang diwujudkan melalui
ketaatan, serta menjaga kemurnian iman dengan menolak pengaruh ajaran palsu.
Yohanes
menyatakan sukacitanya karena melihat sebagian jemaat tetap hidup dalam kebenaran,
yaitu kehidupan yang sesuai dengan ajaran Kristus. Ini menunjukkan bahwa kebenaran
bukan hanya doktrin, tetapi cara hidup yang konkret. Kata “beberapa”
kemungkinan mencerminkan kenyataan bahwa tidak semua anggota jemaat setia, dan
sebagian mungkin mulai terpengaruh ajaran sesat.[2]
Yohanes
menegaskan kembali perintah lama, yakni kasih antar saudara seiman.[3]
Ini bukan ajaran baru, tetapi sesuatu yang sejak semula diajarkan oleh Kristus
(lih. Yoh. 13:34).
Artinya, kasih adalah inti kehidupan Kristen dan harus terus-menerus
dipraktekkan, bukan sekadar diingat. Kasih yang sejati tidak
terpisah dari ketaatan kepada firman Allah. Yohanes menolak pemisahan
antara kasih dan kebenaran. Dengan kata lain, mengasihi bukan hanya soal
perasaan atau keramahan, tetapi hidup seturut kehendak Allah. Ini meluruskan
pemahaman kasih yang kadang disalahartikan sebagai toleransi buta.
Yohanes menyebut
mereka sebagai penyesat dan anti-Kristus,[4] artinya mereka menentang inti Injil. Kristus yang
datang sebagai manusia adalah dasar keselamatan; menolaknya berarti menolak
iman Kristen sepenuhnya. Yohanes mendorong jemaat untuk tetap berjaga-jaga,
agar tidak kehilangan berkat dan keselamatan yang telah mereka terima.
Kehilangan ini bisa terjadi bila mereka terpengaruh oleh ajaran palsu. “Upah”[5]
di sini menunjuk pada hasil dari kehidupan setia, baik dalam bentuk
pertumbuhan rohani, berkat ilahi, maupun kehidupan kekal.
Yohanes
menegaskan bahwa kesetiaan pada ajaran Kristus adalah syarat mutlak
untuk bersekutu dengan Allah. Mereka yang “melangkah keluar” yakni keluar dari
ajaran Kristus adalah orang yang tidak lagi memiliki relasi dengan Allah.
Hanya mereka yang tetap tinggal dalam ajaran Kristus yang benar-benar memiliki
hubungan dengan Bapa dan Anak. Dalam konteks kuno, “menerima di rumah” berarti
memberi tumpangan dan pengakuan sebagai sesama saudara seiman. Yohanes menekankan bahwa keramahtamahan
tidak boleh melampaui batas kebenaran, karena memberi dukungan kepada
pengajar sesat berarti bersekutu dalam kesalahannya.[6]
Surat 2
Yohanes 1:4–11 memberikan dasar teologis yang kuat bagi konsep pendidikan
iman dalam kebenaran. Dalam bagian ini, Rasul Yohanes menegaskan bahwa
kehidupan jemaat yang berakar pada kebenaran Kristus merupakan bukti nyata dari
ketaatan yang lahir dari kasih.[7]
Kebenaran dalam pemahaman Yohanes bukan hanya sekadar pengakuan doktrinal,
melainkan suatu gaya hidup yang diwujudkan dalam relasi yang benar dengan Allah
dan sesama.[8] Oleh karena itu,
pendidikan iman Kristen harus menjadikan ajaran Kristus yang murni
sebagai fondasi utamanya, bukan sekadar nilai moral atau spiritualitas umum.[9]
Yohanes
juga mengingatkan bahwa kasih tidak dapat dipisahkan dari kebenaran; kasih yang
sejati harus diwujudkan dalam ketaatan terhadap perintah Allah, bukan
dalam bentuk kompromi terhadap kesalahan.[10]
Hal ini menunjukkan bahwa proses mendidik tidak hanya bersifat afektif, tetapi
juga formasi karakter melalui disiplin rohani. Dalam konteks ini, pendidikan
dalam kebenaran juga menuntut kewaspadaan terhadap pengaruh ajaran sesat,
sebab Yohanes menyebut para penyesat sebagai anti-Kristus yang membelokkan
pemahaman jemaat tentang inkarnasi Kristus.[11]
Sikap gereja terhadap ajaran sesat tidak boleh bersifat pasif atau permisif,
sebab memberi tempat kepada ajaran yang salah sama dengan mengambil bagian
dalam kejahatan rohani.[12]
Implikasinya,
komunitas gereja baik dalam lingkup keluarga maupun jemaat memiliki tanggung
jawab kolektif untuk menjadi ruang pendidikan iman yang sehat. Pendidikan ini
berlangsung melalui relasi dan kehidupan bersama, di mana kebenaran dan kasih
berjalan selaras dalam tindakan nyata. Oleh karena itu, mendidik dalam
kebenaran adalah tindakan menjaga kemurnian iman, membentuk integritas rohani,
dan mewariskan kesetiaan terhadap Kristus kepada generasi berikutnya.[13]
·
Kebenaran
sebagai Gaya Hidup: Dalam
tulisan Yohanes, kebenaran bukan sekadar konsep intelektual atau doktrin
tertulis. Kebenaran adalah realitas hidup, yaitu hidup yang berjalan dalam
terang Kristus. Oleh karena itu, mendidik dalam kebenaran berarti membentuk
cara berpikir, sikap, dan tindakan yang selaras dengan ajaran Yesus Kristus.
· Kasih yang Berakar pada Ketaatan: Yohanes menolak pemisahan antara kasih dan
kebenaran. Kasih yang sejati adalah kasih yang taat, bukan kasih yang permisif.
Dalam mendidik generasi berikut, kasih harus dinyatakan dalam tindakan yang
membimbing, membentuk, dan juga menegur ketika perlu bukan sekadar memberi
kenyamanan tanpa arah rohani.
·
Kritik
terhadap Toleransi yang Salah Arah: Menarik bahwa Yohanes melarang jemaat memberi sambutan kepada pengajar
sesat. Ini tidak berarti anti-ramah, tetapi menegaskan bahwa keramahtamahan
rohani memiliki batas, yaitu ketika ia membahayakan iman. Dalam dunia modern,
ajakan untuk “terbuka” sering kali berarti “menerima segalanya tanpa kritis.”
Surat ini mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak boleh dikorbankan demi
penerimaan sosial.
·
Gereja
dan Keluarga sebagai Ruang Pendidikan Iman: Gereja dan keluarga adalah dua tempat utama di
mana pendidikan iman terjadi. Yohanes menyapa jemaat sebagai “ibu dan
anak-anaknya,” yang menandakan keintiman dan tanggung jawab kolektif.
Pendidikan dalam kebenaran bukan hanya tugas pendeta atau pengajar, melainkan
misi bersama umat Tuhan.
PENUTUP: Sebuah Seruan bagi Gereja Masa Kini
Mendidik dalam kebenaran adalah panggilan yang relevan sepanjang zaman.
Pendidikan dalam
iman Kristen tidak pernah menjadi aktivitas sementara atau musiman. Ini adalah tugas lintas generasi.
Situasi zaman boleh berubah, dunia digital, perubahan budaya, relativisme moral,
tetapi panggilan untuk mendidik dalam kebenaran tetap konstan. Yohanes, dalam
suratnya, berbicara kepada jemaat yang hidup dalam konteks berbeda dari kita,
tetapi masalah utamanya sama: bagaimana hidup tetap setia dalam ajaran Kristus
di tengah pengaruh yang menyesatkan. Ini menunjukkan bahwa gereja perlu selalu mengusahakan pendidikan iman yang
tidak ketinggalan zaman, namun juga tidak kehilangan esensi kebenaran Injil.
Di tengah dunia yang penuh kebingungan
Zaman ini sering
disebut sebagai zaman post-truth, di mana kebenaran menjadi relatif, dan
perasaan pribadi lebih dianggap penting daripada fakta objektif. Ini
menciptakan kebingungan rohani: banyak orang tidak lagi tahu mana ajaran yang
benar, atau merasa semua agama dan kepercayaan bisa disamakan. Dalam situasi
seperti ini, kekristenan tidak boleh diam atau pasif, melainkan harus aktif
menegaskan bahwa kebenaran ada dalam pribadi Yesus Kristus (Yoh. 14:6). Gereja
dan keluarga Kristen harus menjadi ruang navigasi rohani, tempat orang belajar
membedakan mana kebenaran sejati dan mana yang palsu.
Gereja dipanggil untuk tetap setia pada ajaran Kristus
Kesetiaan di sini
menunjuk pada komitmen terhadap ajaran asli Kristus, bukan versi yang
dimodifikasi demi kenyamanan atau popularitas. Banyak godaan untuk menyesuaikan
Injil dengan selera zaman, agar lebih diterima. Tapi Yohanes memperingatkan
bahwa memberi tempat pada ajaran yang tidak benar, walaupun tampak toleran adalah
bentuk kejatuhan rohani (2 Yoh. 1:10–11). Tegas tapi kasih: Kesetiaan pada
ajaran Kristus berarti berdiri pada kebenaran dengan kasih, bukan dengan
kebencian atau sikap menghakimi.
Tugas ini tidak ringan, tetapi sangat mendesak.
Panggilan
mendidik dalam kebenaran bukan sekadar aktivitas tambahan dalam gereja atau
rumah. Ini adalah tugas utama dan mendesak, karena pengaruh zaman ini sangat
kuat dan bisa menghancurkan dasar iman generasi muda jika tidak dilawan dengan
pengajaran yang sehat dan konsisten. Kesadaran mendesak: Gereja yang menunda
atau mengabaikan pendidikan iman, pada akhirnya akan menuai generasi yang asing
terhadap kebenaran Kristus.
Kita tidak hanya sedang mengajarkan kebenaran, tetapi sedang mewariskan kehidupan kepada generasi mendatang.
Pendidikan iman
bukan hanya soal menyampaikan informasi, melainkan soal menanamkan kehidupan.
Yang diwariskan bukan cuma pengetahuan Alkitab, tapi jalan hidup yang berakar
dalam Yesus. Kita tidak sekadar mengajar anak-anak hafal ayat, tapi membentuk
mereka menjadi pribadi yang mencintai Tuhan, takut akan Dia, dan hidup
bagi-Nya. Hasil jangka panjang: Pendidikan dalam kebenaran akan menghasilkan
generasi yang kokoh, tidak goyah oleh dunia, dan menjadi terang bagi zamannya.
RELEVANSI KONTEKSTUAL BAGI GMIT DALAM BULAN PENDIDIKAN
Dalam terang 2 Yohanes 1:4–11, GMIT dipanggil untuk menafsir ulang
mandat mendidik sebagai panggilan profetik, bukan sekadar pewarisan ajaran,
melainkan pembentukan identitas umat yang hidup dalam kebenaran dan kasih
secara utuh. Di tengah zaman post-truth di mana kebenaran dikaburkan oleh opini
dan kasih dipermudah menjadi kompromi, gereja tidak bisa netral. Mendiamkan
penyesatan sama halnya dengan ikut melanggengkan kegelapan. Di sinilah urgensi
Bulan Pendidikan GMIT menjadi medan perlawanan rohani terhadap banalitas zaman
ini.
GMIT,
sebagai gereja kontekstual yang hidup dalam ruang pluralitas budaya dan
realitas digital, tidak cukup hanya mengulang pola pendidikan iman yang
bersifat seremonial dan programatik. Gereja harus membentuk ekosistem
pembelajaran iman yang menyatu dengan kehidupan jemaat, bukan terpisah dari
realitas harian. Artinya, rumah tangga, kebaktian, sekolah minggu, persekutuan
kategorial, hingga aktivitas sosial, semua harus berfungsi sebagai ruang
formasi spiritual yang mengakar dalam kebenaran Kristus dan menghasilkan kasih
yang transformatif.
Warisan
iman tidak boleh berhenti pada dogma, melainkan harus menjadi gaya hidup.
Pendidikan iman yang sejati bukan hanya mengajarkan isi Alkitab, tetapi
memampukan generasi untuk hidup dalam ketaatan kepada kebenaran yang menjadi
daging (Yoh. 1:14). Di tengah godaan untuk menyesuaikan injil dengan selera
zaman, GMIT dipanggil untuk teguh berdiri pada ajaran Kristus, bahkan bila itu
berarti tidak populer. Pendidikan dalam kebenaran berarti membentuk keberanian
moral untuk berkata "tidak" pada ajaran palsu, dan sekaligus berkata
"ya" pada kasih yang disiplin dan bertanggung jawab.
Dalam
momentum Bulan Pendidikan ini, GMIT perlu menegaskan bahwa tanggung jawab
pendidikan iman bukan milik sinode atau pendeta semata, tetapi merupakan
panggilan kolektif seluruh tubuh Kristus. Setiap orang tua, pendeta, guru
sekolah minggu, majelis jemaat, remaja, dan pemuda—dipanggil menjadi guru
kehidupan yang menyalakan terang Kristus dalam konteks mereka masing-masing. Di
dunia yang semakin gelap oleh relativisme dan kebingungan spiritual, GMIT harus
menjadi gereja yang mendidik dengan integritas, mengasihi dengan ketaatan, dan
berdiri di atas kebenaran tanpa kompromi.
DAFTAR PUSTAKA
Stephen S. Smalley, 1, 2, 3 John,
Word Biblical Commentary, Vol. 51 (Nashville: Thomas Nelson, 1984), 328.
David Jackman, The Message of
John's Letters, The Bible Speaks Today (Leicester: Inter-Varsity Press,
1988), 213.
Raymond E. Brown, The Epistles of
John, Anchor Bible Series (New Haven: Yale University Press, 1982), 698.
Craig S. Keener, The IVP Bible
Background Commentary: New Testament (Downers Grove, IL: InterVarsity
Press, 1993), 748.
Alkitab Terjemahan Baru.
Lembaga Alkitab Indonesia, 2002.
Strong’s Greek Lexicon, dalam
Blue Letter Bible, akses terakhir 26 Juli 2025, https://www.blueletterbible.org.
[1] Ungkapan ini bukan
menunjuk pada seorang ibu secara literal, tetapi secara simbolik menunjuk pada:
Gereja lokal (komunitas jemaat), Dan “anak-anaknya”
menunjuk pada anggota-anggota jemaat. Ini adalah gaya bahasa metaforis yang
menekankan kasih sayang rohani dan hubungan kekeluargaan di dalam
Kristus.
[3] Kata Perintah; entolē
(ἐντολή) Muncul dalam ayat 5 dan 6.
Kata ini berarti "perintah" yang mengikat secara ilahi, bukan
sekadar anjuran. Dalam konteks Yohanes, entolē sering menunjuk pada perintah
kasih dan ketaatan kepada Kristus (lihat Yoh. 15:10, 1 Yoh. 2:3-4). Kasih
kepada Allah dan sesama bukan opsional, tetapi merupakan kewajiban rohani
yang berasal dari relasi dengan Allah.
[4] Kata Penyesat; planos
(πλάνος) Muncul dalam ayat 7. Secara
harfiah berarti “yang menyesatkan”, atau “penipu jalan.” Kata ini digunakan
untuk menggambarkan mereka yang secara aktif memutarbalikkan kebenaran
dan menyesatkan orang percaya dari ajaran sejati. Penyesat bukan hanya orang
yang salah, tapi orang yang dengan sadar dan aktif menyebarkan kesesatan,
terutama yang menyangkal inkarnasi Kristus.
[5] Kata Upah; misthos
(μισθός) Muncul dalam ayat 8. Secara
umum berarti “upah, ganjaran, atau hasil kerja.” Dalam konteks rohani, ini
menunjuk pada berkat atau hasil dari kesetiaan, termasuk kehidupan kekal
atau pahala surgawi. Jemaat diingatkan agar tidak kehilangan misthos—hasil
dari kesetiaan mereka dalam hidup dan pengajaran yang benar. Artinya, ketekunan
menjaga iman akan mendatangkan ganjaran rohani dari Allah.
[6] Yohanes menggunakan
kata-kata yang kuat dan penuh makna relasional, seperti agapē
(kasih yang taat), alētheia (kebenaran ilahi), dan menō (tinggal
tetap) untuk menegaskan bahwa hidup Kristen adalah hidup yang berakar dalam
Kristus, setia kepada ajaran-Nya, dan tegas terhadap setiap bentuk penyimpangan.
[7] Lihat 2 Yohanes
1:4, di mana Yohanes bersukacita karena anak-anak jemaat hidup dalam kebenaran,
suatu tanda bahwa iman yang benar menghasilkan buah dalam kehidupan nyata.
[8] Stephen S. Smalley, 1, 2, 3 John (Word Biblical
Commentary, Vol. 51), Thomas Nelson, 1984, hlm. 328.
[9] David Jackman, The Message of John's Letters
(BST), IVP, 1988, hlm. 213.
[10] Cf. 2 Yohanes 1:6,
di mana kasih didefinisikan sebagai ketaatan terhadap perintah Allah, bukan
semata-mata emosi atau sikap ramah.
[11] Raymond E. Brown, The Epistles of John, Yale
Anchor Bible, Yale University Press, 1982, hlm. 698.
[12] Lihat 2 Yohanes
1:10–11, yang secara tegas melarang menerima pengajar sesat agar tidak turut
terlibat dalam pekerjaan jahat mereka.
[13] Craig S. Keener, The IVP Bible Background
Commentary: New Testament, InterVarsity Press, 1993, hlm. 748.
Komentar
Posting Komentar