"Orang Samaria Yang Murah Hati" - Lukas, 10:25-37

Lukas 10:25-37
Orang Samaria Yang Murah Hati
Pendahuluan
Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati merupakan contoh penggambaran yang Tuhan Yesus berikan kepada pendengar pada waktu itu bahwa seluruh kesatuan hukum Taurat terletak dalam kasih kepada Allah dan kepada manusia. Lukas menuliskan kisah tentang orang Samaria yang murah hati, di mana ia ingin menerangkan penekanan yang Tuhan Yesus berikan kepada seorang ahli Taurat yang bertanya kepada-Nya tentang mendapatkan hidup yang kekal adalah dengan memperhatikan apa yang tertulis dalam hukum Taurat, yaitu bagaimana seseorang tahu dan mempraktekkan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Masakan seorang ahli Taurat tidak mengerti tentang hal ini, sehingga Tuhan Yesus harus memberikan penegasan kepadanya tentang isi Taurat mengenai kasih. Kasih yang dimaksudkan ini bukan hanya sekedar pengetahuan dan pengertian saja, tetapi juga penerapan yang tepat untuk dilakukan di dalam kehidupan setiap pendengarnya pada waktu itu. Joel B. Green menyatakan, “The parable started with a question asked by ‘an expert in the law’. In Jesus’ time, priests functioned as experts in the law when not performing their priestly duties at the temple.” Arland J. Hultgren juga menyatakan, 
“The term νομικός (“lawyer”) refers to an expert in law; it refers to that type of officer who is sometimes called a “scribe” (γραμματεύς) in other context, that is, a person who is trained to interpret and teach the law of Jewish tradition.” 
Green sekali lagi menyatakan, “The identification of this lawyer and the temple personel of the parable may be more immediate than normally thought.” 
Adalah hal yang tidak wajar pada waktu itu jika Tuhan Yesus memakai contoh seorang Samaria (yang menurut orang Yahudi adalah kelompok orang nomor dua; karena mereka tidak lagi murni sebagai orang Yahudi dikarenakan perkawinan campur dengan bangsa asing – The Samaritans were scorned by the Jews because of their mixed Jewish and gentile ancestry. Hultgren mengutip Joachim Jeremias, “The Samaritans were typically regarded as Gentiles,” dan mengutip Theodor H. Gaster, “or at best a degree nearer than Gentiles, but still not full members of the house of Israel.”) disampaikan oleh Tuhan Yesus kepada pendengarnya yang adalah seorang ahli Taurat dan para murid-Nya yang adalah orang Yahudi. Simon J. Kistemaker menyatakan, “The parable of the good Samaritan has become part of our culture and vocabulary. It is not uncommon to see hospitals and institutions of mercy bearing that name.” Dan perumpamaan ini hanya dicatat di dalam Injil Lukas saja dengan lebih memberikan penekanan kasih kepada sesama atau tetangga. 
Tidak diragukan hal terbaik yang diketahui dan paling banyak mencatat tentang kasih dari perumpamaan Yesus muncul hanya di dalam Injil Lukas (sebagai contoh, yang dituliskan di dalam Injil Lukas tentang orang Samaria yang murah hati dan tentang anak yang hilang). Di dalam kenyataannya, Lukas memiliki paling tidak sembilan cerita perumpamaan unik dari Injilnya, semuanya itu yang terjadi di dalam kisah perjalanan. Ini adalah Injil yang universal yang menghadirkan Yesus sebagai Juruselamat dunia ini. Hal ini terlihat lebih jauh dalam perhatian penulis kepada orang-orang Samaria, non Yahudi, perempuan, orang-orang terbuang, orang miskin, orang tertindas. Darrel L. Bock menyatakan, 
“Jesus’ choice of a Samaritan is significant, since Jews disliked Samaritans and would not have seen them as neighbors. In effect Jesus says, “Neighbor can come from surprising places.” There is an ethic point, then, in the racial choice of this character.”
Hultgren menyatakan, 
“The parables found only in the Gospel of Luke. It is located within the Travel Narrative (9:51-19:27). More specifically, it follows the discussion between Jesus and the lawyer in 10:25-29. In that scene the lawyer ask a question (10:25); there is a recounting of the two commandments from the Torah (Deut 6:4; Lev19:18); and then the question of who is one’s neighbor (10:29).”
Bock juga menyatakan, 
“Luke 10:25-37 consists of two parts linked by shared vocabulary: ποίεω (poieo, to do) in 10:25, 28, 37 (twice) and πλησίον (plession, neighbor) in 10:27, 29, 36 (Egelkraut 1976: 84, esp. n. 4). The lawyer inquires about eternal life, which is answered in terms of the commandment (10:25-28). Then follows an explanatory parable about the exemplary Samaritan (10:29-37), which shows that one’s obligation includes all, not just certain people. This racial leveling is a key part of Jesus’s ethic. Basic mercy and love is to extend to all.” 
Garis Besar Lukas 10:25-37
Garis besar Lukas 10:25-37 adalah sebagai berikut:
Legal question about inheriting etenal life (10:25-28)
The lawyer’s question (10:25)
Jesus’ question (10:26)
The lawyer’s reply: the great commandment-love God and neighbor (10:27)
Jesus’ commendation (10:28)
Call to be a neighbor: the exemplary Samaritan (10:29-37)
The lawyer’s question about neighbors (10:29)
The parable of the priest, Levite, and compassionate Samaritan (10:30-35)
The lawyer’s recognition of the Samaritan (10:37a)
Jesus’ command to do like the Samaritan (10:37b) 
Teologi Perumpamaan
Teologi dari perumpamaan ini adalah penerapan dari seluruh Taurat; hukum 1-4 bagaimana seseorang harus mengasihi Allah dan hukum 5-10 bagaimana seseorang mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Dan kedua pembagian hukum ini tidak dapat dipisahkan tetapi saling terkait satu dengan yang lain, dan apabila gagal melakukan satu dari sepuluh hukum tersebut berarti telah gagal terhadap keseluruhan Taurat, dan sebagai seorang ahli Taurat pasti mengerti terhadap hal ini. Kistemaker menyatakan, “The theologian did not see any problems in regard to the first and great commandment, “Love the Lord your God.” But love for God cannot be expressed apart from the second commandment, “Love your neighbor as yourself.”” Di dalam ayat 27 penggunaan kata αγαπησεις suatu tindakan kasih yang aktif dalam kronologi waktu present dan juga future yang memiliki bobot kasih yang sama diberikan kepada Allah dan juga kepada sesama. Bock memberikan masukan tentang hal ini, “The lawyer answers the question about receiving life in the future in concrete terms of love and devotion, not in an abstract sense.” Tidak ada perbedaan konten sama sekali terhadap kasih kepada Allah dan kepada sesama (bandingkan Matius 22:37-40), dituliskan di dalam ayat 40, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Artinya tidak bisa memilih antara mengasihi Allah dan tidak mengasihi sesama, atau sebaliknya mengasihi sesama tetapi tidak mengasihi Allah. Jika salah satu dilakukan yang lain tidak bisa dilanggar (bandingkan 1 Yohanes 4:20). 
Latar Belakang Perumpamaan
Yang menjadi latar belakang Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan ini adalah karena ada pertanyaan yang diberikan oleh seorang ahli Taurat kepada-Nya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”; Tuhan tidak langsung menjawab pertanyannya tetapi sebaliknya memberikan pertanyaan balik kepada ahli Taurat itu yang mengarahkannya kepada hukum Taurat, apa yang ia ketahui dan mengerti tentang Taurat, dan dia menjawab dua kategori besar dari hukum Taurat, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Pada akhirnya ahli Taurat itu menjawab pertanyaannya sendiri. Kistemaker menyatakan, “He came with a counterquestion: “What is written in the Law?” In effect he asked, “How do you recite the Law in summary form when you worship in the synagogue?” The theologian responded by citing the two commands linked by the key word love: “Love the Lord your God” and “Love your neighbor as yourself.” Tuhan menegaskan jawabannya kepadanya, “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” “All that the lawyer had to do – all that anyone has to do – was to keep the two great commandments by loving God and loving his neighbor.” Bock menyatakan, “The question appear simple, but in fact is theologically complex..” Tuhan menegaskan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama tidak semudah dengan mengucapkannya tetapi harus diperbuat dengan tepat dan benar. Problematika terjadi ketika dia berusaha untuk membenarkan dirinya dengan suatu pertanyaan balik kepada Tuhan Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Kemudian Tuhan Yesus memberikan tanggapan dengan menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria ini kepada ahli Taurat itu dan para pendengar pada waktu itu. 
Kata-kata Kunci
Perbuat : 3 kali : ποιήσας dan ποίει dari kata ποίεω: ay. 25, 28, 37
Sesama : 3 kali : πλησίον: ay. 27, 29, 36
Melihat : 3 kali : ἰδὼν: ay. 31, 32, 33
Kasihilah : 2 kali : αγαπησεις: ay. 27 dalam terjemahan Yunani (1 kali)
Belas Kasihan : 2 kali : ἐσπλαγχνίσθη dan ἔλεος: ay. 33, 37
Parsing
Ποιήσας : verb-participle-aorist-active-nominative-masculine-first person-singular
Ποίει : verb-imperative-present-active-second person-singular
Πλησίον : adjective-adverb function, “use as” adjective-pronominal-nominative-masculine-
  singular
αγαπησεις : verb-indicative-future-active-second person-singular function, “use as” verb-imperative-
  present-active-second person-singular
ἰδὼν : verb-participle-aorist-active-nominative-masculine-singular
ἐσπλαγχνίσθη : verb-indicative-aorist-passive deponent-third person-singular
ἔλεος : noun-accusative-neuter-singular

Latar Belakang Geografis                                              
Dalam perumpamaan itu diceritakan tentang seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
Klyne Snodgrass menyatakan, “The drop from Jerusalem, which lis 2700 feet above sea level, to Jericho, which lies 17 miles away about 800 feet below se level, is more than 200 feet permile.” William F. Arndt berpendapat, 
“The picturesque imperf. Κατέβαινεν should be noted. Jerusalem lies 2.500 feet below – a tremendous descent for the short distance between these two cities (20 mil). Up to recent times robbers have made travel in this region hazardous: the country is a desert, villages are absolutely nonexistent, ledges of rock and caves abound, brigands, here find the hiding places they require. The unfortunate victim probably defended his property and so was beaten and wounded. καὶ before ἐκδύσαντες must not be overlooked: the robbers mistreated him and in addition incredible poverty of most of the people in Palestine even today, clothes are considered an article of extraordinary value.”
Melalui penggambaran yang diberikan oleh Snodgrass dan Arndt sangatlah pasti bahwa orang yang dirampok dan ditinggalkan setengah mati itu sangat membutuhkan ada orang yang lewat di situ dan memberikan pertolongan kepadanya. Ada suatu harapan yang dia nantikan melalui belas kasihan yang akan diterimanya dari setiap orang yang melalui jalan itu.
Hultgren mengutip J. Jeremias, J. Fitzmyer, dan B. Scoot, memberikan informasi bahwa the meaning of the term ἡμιθανῆ (adjective-accusative-masculine-singular) (“half dead”) is not clear; it is found in the NT only here. There are two possible meanings. It could mean that the man could be taken for dead, that is, that he was unconcious and looked like a corpse. Dan dengan mengutip dari Diodorus Siculus, “The other possibility is that he was injured so badly that his life was in peril, and that he needed help to survive.” 
Pemaparan Perumpamaan
Pertanyaan yang ditanyakan oleh ahli Taurat kepada Tuhan Yesus tentang “Siapakah sesamaku manusia?” menjadi dasar dimulainya perumpamaan tentang gambaran yang paradoks dari seorang Samaria yang murah hati. Seperti pemaparan di atas tentang perbedaan status sosial antara orang Yahudi dan orang Samaria, di mana orang Yahudi menganggap bahwa mereka adalah superior dibandingkan dengan orang yang lainnya, terlebih lagi terhadap orang Samaria. Sehingga sangatlah jelas dinyatakan oleh Tuhan Yesus suatu perbandingan besar tindakan kasih yang diperbuat oleh seorang Samaria - yang dihina dan tidak dianggap di kalangan masyarakat Yahudi dengan orang Yahudi yang menganggap diri mereka superior tapi tidak dapat melakukan tindakan kasih yang tepat dan benar.
Siapakah sesamaku manusia? Ini suatu pertanyaan retorika, dan Kistemaker melihatnya sebagai suatu pertanyaan yang bersifat fundamental; dia menyatakan, “And who is my neighbor?” That was the fundamental question.” Pengajaran tentang siapakah sesama manusia itu telah dicatat sejak dalam Perjanjian Lama, sebagai contoh dalam Imamat 19:18. Tuhan Yesus banyak memberikan pengajaran yang lebih ekstrim lagi tentang penerapan kasih kepada sesama manusia pada perikop sebelumnya Lukas 6:27-36. 
Kata yang dipakai untuk kasih di bagian ini juga memakai kata ἀγαπᾶτε (verb-indicative-present-active-second person-plural), yaitu suatu tindakan kasih yang aktif – dan juga di dalam bagian Lukas 10:27 berbentuk imperatif dari tindakan yang senantiasa dilakukan dan tidak berhenti di tengah jalan. Snodgrass melihatnya sebagai kasih yang ditekankan pada perbuatan yang aktif. Dia menyatakan, “The emphasis throughout is on action and especially on “doing” (poiein, vv. 25, 28, 37 twice).” Walvoord dan Zuck memberikan sebuah argumen seperti ini, 
“Jesus was teaching that a person should be a neighbor to anyone he meets in need. The ultimate Neighbor was Jesus, whose compassion contrasted with the Jewish religious leaders who had no compassion on those who were perishing. Jesus wrapped up His teaching with the command that His followers were live like that true neighbor.”
Sedangkan I. Howard Marshall menyatakan, “The neighbor (ho plesion) means more than the man who lives nearby (which is ho perioikos, used, for example, in 1:58). There is the thought of community, of fellowship.” Hultgren menyatakan, “Normally the term “neighbor” would refer to a fellow Jew or proselyte.” Dan dia juga mengutip T. W. Mason, Sayings, p. 262, yang menyatakan, 
“In asking the question about who is my neighbor, the question really means: Where do I draw the line? How large must the circle be? If I know who my neighbor is, I also know who is not my neighbor. On the other hand, whoever has love in his or her heart will know who the neighbor.”
John Dominic Crossan menyatakan, 
“There is a logical inconsistency between the meaning of the term “neighbor” in 10:27, 29, and in 10:36 so that the parable of 10:10:30-35 which is located between these two frames is pulled in opposite directions. In 10:27, 29, the neighbor is he to whom love must be offered; in 10:36 the neighbor is the one who offers love and mercy to another’s need.”
Di sini Tuhan Yesus memberikan tiga contoh orang yang bisa menunjukkan kasih kepada sesamanya manusia: 1. Seorang imam; 2. Seorang Lewi; dan 3. Seorang Samaria. Di dalam kisah ini ketika orang ini melihat orang yang dirampok dan ditinggalkan setengah mati ini, namun masing-masing dari mereka memiliki konsep yang berbeda dalam memandang/melihat orang yang hampir mati tersebut. Dalam Alkitab diceritakan bahwa imam dan orang Lewi melihat orang itu kemudian mereka melewatinya dari seberang jalan dan tidak memberikan pertolongan kepada orang itu. Tetapi dalam bagian cerita selanjutanya diceritakan ada seorang Samaria yang melintasi tempat itu, dia melihat orang yang hampir mati itu, dan hatinya tergerak oleh belas kasihan. Dia mengobati orang itu dan memberikan dua dinar kepada pemilik penginapan yang merawatnya. Bock memberikan argumentasi terhadap hal ini, “Many motives have been suggested for the priest’s refusal: fear of becoming unclean from touching a corpse, hestitation to help someone who may be a sinner, fear of being robbed while giving aid.” A priest, one expected to love others, avoided the wounded man, probably a fellow Jew. Levites were descendants of Levi but not of Aaron, and they assisted the priests (Aaron’s descendants) in the temple. But like the priest again, the man is portrayed as without excuse, neglecting one who obviously needs help. He, too, “saw” the victim (Καὶ ἰδὼν, “and when he saw [him]) and went on..
Tuhan Yesus memberikan pertanyaan kembali kepada ahli Taurat tentang yang melakukan kasih sesamanya manusia dan ahli Taurat itu menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Dan Tuhan Yesus sekali mengatakan, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”




DAFTAR PUSTAKA
Arland J. Hultgren, The Parables of Jesus: A Commentary. Grand Rapids: Willam B. Eerdmans, 2000.
Arndt, William F. Bible Commentary the Gospel According to St. Luke. Saint Louis: Concordia Publishing 
House, 1956.
Bock, Darrel L. Luke Volume 2: 9:51-24:53: Baker Exegetical Commentary on the New Testament. Grand 
Rapids: Baker, 2004.
Crossan, John Dominic. In Parables, The Challenge of the Historical Jesus. New York: Harper & Row, 
Publishers, 1992.
Friberg, Barbara and Timothy Friberg. Baker’s Greek New Testament Library: Analytical Greek New 
Testament. Grand Rapids: Baker Book House, 1981.
Green, Joel B. The Gospel of Luke, NICNT. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997.
Greg W. Forbes, The God of Old: The Role of the Lukan Parables in the Purpose of Luke’s Gospel. England: 
Sheffield Academic Press: 2000.
Hobbs, Herschel H. An Exposition of the Gospel of Luke. Grand Rapids: Baker Book House, 1966.
Kistemaker, Simon J. The Parables: Understanding the Stories Jesus Told. Grand Rapids: Baker Book House, 
1980.
Marshall, I. Horward. New Testament Theology. Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2004.
Ryken, Philip Graham. Luke Vol. I, (Phillipsburg, New Jersey: P & R Publishing, 2009)
Snodgrass, Klyne. Stories with Intent, A Comprehensive Guide to the Parables of Jesus. Grand Rapids: William 
B. Eerdmans Publishing Company, 2008.
Walvoord, John F. & Roy B. Zuck. The Bible Knowledge Commentary, An Exposition of the Scriptures. 
Wheaton, Illinois: Victor Books, 1990.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA KUAT SEPERTI MAUT: Sebuah Refleksi dari Kitab Kidung Agung dan Relevansinya bagi Kaum Muda yang Gagal Move On

PEMERINTAH ADALAH HAMBA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

IMAN SEBAGAI LANDASAN MENTAL YANG KUAT: Sebuah Refleksi Kisah Hidup Ayub dan Relevansinya terhadap Kehidupan Mental Orang Muda Masa Kini